HUJAN turun sejak pagi tadi, tetapi sore hari hujan mulai kecil dan hanya rintik-rintik saja. Tetapi dipinggir sawah dijalan raya diluar kota Siung Kang, tampak seorang anak lelaki berusia sebelas tahun tengah duduk terpekur dimana dia mengawasi titik-titik hujan yang turun ditengah-tengah sawah itu. Lama dia duduk ditepi jalan membiarkan tubuhnya di basahi oleh air hujan itu, anak ini seperti tidak memperdulikan. Rambutnya yang basah kuyup dan pakaiannya yang telah basah juga, semuanya tidak diacuhkan oleh anak itu. Dia sesungguhnya tengah mengawasi seekor katak yang melompat-Iompat diantara sawah itu.
„Enak sekali jika aku bisa menjadi seperti katak itu, hidup bebas dan mau kemana pergi tidak ada yang larang…!” berpikir anak itu. sambil menghela napas.
Walaupun usianya masih kecil, sebelas tahun, anak ini berpakaian mewah sekali. Dari cara berpakaiannya itu jelas anak ini bukan anak sembarangan, setidak-tidaknya dia putera dari seorang hartawan kaya. Bahan pakaiannya terbuat dari bulu Tiauw, dengan sepatu bulu musang, dan juga jubah luarnya yang telah basah itu terbuat dari sutera berwarna kuning telur.
Tetapi anehnya anak ini membiarkan dirinya dibasahi oleh air hujan, dia telah berdiam diri saja.
„Auwyang Kongcu……! Auwyang Kongcu……!” tiba-tiba dikejauhan terdengar suara orang memanggil-manggil, suaranya yang terdengar samar-samar menyatakan orang yang memanggil-manggil itu masih, terpisah cukup jauh. „Dimana kau, Auwyang Kongcu?”
Anak kecil itu mendengar suara panggilan itu, dia menghela napas.
,,Belum lagi aku puas menonton katak-katak itu berlompatan, sudah. datang-sihitam ini….” menggumam anak itu, yang ternyata dialah : Auwyang Kongcu, majikan muda she Auwyang.
Orang yang berteriak-teriak telah tiba ditempat itu, dia melihat majikan kecilnya sedang duduk dipematang sawah dibawah siraman air hujan. Cepat-cepat lelaki berusia antara tiga pualuh tahun bermuka hitam itu telah menghampiri.
„Auwyang Kongcu, rupanya engkau disini ! Aku setengah mati mencari-carimu dengan hati kuatir! Mari pulang, nanti ayah dan ibumu kuatir memikirkan engkau…!”.
„Tunggu dulu Hek Iopeh (paman-hitam), aku sedang asyik menyaksikan katak-katak itu dengan ringan dapat melompat-lompat indah sekali…….lihatlah katak itu melompat, lucu sekali, bukan ?” kata-anak lelaki itu sambil matanya, terus mengawasi seekor katak yang tengah melompati gabungan padi yang mulai tumbuh tinggi.
Tetapi Hek Lopeh itu telah berkata dengan suara takut-takut : „Tetapi Auwyang- Kongcu, lebih baik kita kembali dulu…tihatlah, hari sudah menjelang sore, nanti aku dimaki oleh Toaya (tuan besar)…! “
„Jangan takut, nanti aku yang memberikan alasan. Kau duduk dulu disini, Hek Lopeh !” kata Auwyang Kongcu dengan suara yang perlahan dan menepuk sampingnya, tetapi dia tetap mengawasi dengan asyik sekali kepada katak-katak yang tengah berlompatan itu. Hek Lopeh telah menghela napas, dia kemudian duduk disamping anak she Auwyang itu.
„Dengarlah dulu, Auwyang Kongcu, dulu waktu kita pulang terlambat, ayahmu hampir menamparku ! Mari cepat kita pulang…!” Tetapi anak she Auwyang itu tidak mau menuruti ajakan pengasuhnya itu, dia masih asyik menyaksikan katak-katak yang berlompatan itu.
Tetapi akhirnya anak itu berdiri juga.
„Engkau selalu mengganggu kegembiraanku, Hek Lopeh!” katanya seperti mendongkol.
„Bukan mengganggumu, Kongcu, tetapi… justru, aku kuatir ayah dan ibumu memarahi aku lagi…! “
„Sudahlah, katak-katak itupun takut melihat mukamu yang hitam”, kata anak itu.
„Mari kita pulang…!” dan sambil berkata begitu dia telah membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan tempat tersebut, sedangkan paman hitam itu, pengasuhnya, telah mengikuti dari belakang.
„Engkau hujan-hujanan seperti ini, tentu kesehatanmu bisa terganggu…!” kata Hek Lopeh itu dengan suara berkuatir.
„Jangan takut, tubuhku sehat ! Tidak mungkin baru kehujaaan saja aku sakit…!” dan setelah berkata begitu dia telah berjalan dengan langkah kaki yang lebih lebar.
Disaat itulah Hek Lopeh dan sianak she Auwyang itu telah tiba dimuka sebuah gedung yang besar dan mewah. Seorang Kee-teng telah membukai mereka pintu.
Dari dalam segera terdengar suara seorang wanita berseru kuatir: „Haya, mengapa engkau hujan2an seperti itu, Hong-jie (anak Hong)………?” dan setelah berkata begitu, tampak seorang wanita dengan membawa payung telah menjemput anak itu, yang diusapi kepalanya. „Ayo cepat, dibasuh kepala dan tubuhmu…..nanti engkau bisa masuk angin…!”
Tetapi anak itu, Hong-jie ternyata sangat manja sekali.
„Ma”, katanya kemudian. „Aku tadi telah meninggalkan Hek Lopeh main sembunyi-sembunyian, dan Hek Lopeh tidak berhasil mencari aku…… !”
„Tetapi dilain waktu engkau tidak boleh main nakal seperti itu lagi…!” kata nyonya itu, ibunya.
„Ma, engkau marah ?” tanya Auwyang Hong sambil mengangkat kepalanya mengawasi ibunya.
„Tidak…asal lain waktu engkau tldak membuat ibu menjadi jengkel oleh tabiatmu yang bandel sekali…!”, sahut ibunya.
Auwyang Hong tersenyum, dia bilang : „Yang salah adalah aku Ma! sedangkan Hek Lopeh tidak bersalah, jangan memarahi dia……!”
„Ya…. ya….., cepat engkau basuh tubuhmu…… nanti kalau ayahmu melihat keadaanmu seperti ini, tentu Hek Lotoa akan kena marah ayahmu!”
Auwyang Hong mengiyakan, dan dia telah pergi kebelakang untuk salin pakaian.
itu, Auwyang Hong bersantap dengan ayah dan ibunya.
Ayah Auwyang Hong yang bernama Auwyang Bun itu, adalah seorang yang kaya raya, dia merupakan hartawan terkaya diwiliyah Ciu-tang.
Hartawan she Auwyang ini hanya memiliki seorang putera, yang diberi nama Auwyang Hong. Sebagai putera tunggal dari orang yang kaya raya, tentu saja Auwyang Hong sangat dimanja. Juga setiap pergi keluar rumah harus disertai dengan pengasuhnya.
Sering Hek Lotoa yang menjadi pengasuh Auwyang Hong kena marah dan dimaki-maki Auwyanhg Bun, karena keteledorannya atas kenakalan puteranya itu.
Ada satu kegemaran Auwyang Hong, dia senang sekali menyaksikan kodok-kodok sawah yang tengah melompat-lompat, sering juga anak ini diam-diam pergi kepematang sawah yang tidak terpisah jauh dari rumahnya, untuk menyaksikan kodok-kodok yang tengah berlompatan, yang dianggapnya sangat menarik sekali.
Hek Lotoa sebagai pengasuh Auwyang Hong seringkali keripuhan dan takut, karena anak itu inem”g nakal. Sering waktu Auwyang Hong diajak main oleh pengasuhnya ini, anak itu tahu-tahu lenyap, menghilang entah kemana. Kejadian-kejadian seperti itulah membuat Hek Lotoa sering diliputi kepanikan, karena dia menyadari jika sampai anak itu hilang, entah bagaimana marah majikannya …………………
Tetapi Auwyang Hong memang seorang anak yang nakal, justru dia sering meclakukan pekerjaan-pekerjaan yang bisa menimbulkan kekuatiran Hek Lotoa, karena sengaja Auwyang-Hong ingin melihat. Hek Lotoa jadi panik dan keripuhan sendiri mencari-carinya.
„Hong-jie”, kata sang ayah setelah mereka selesai bersantap. „Kini engkau telah berusia sebelas tahun, maka mulai sekarang engkau harus rajin-rajin mempelajari ilmu sastra yang akan diajari oleh gurumu…!”
„Baik Thia (ayah), Hong-jie akan menyimpan nasehat Thia dan tidak akan melupakannya…!” menyahut sang anak seenaknya. Padahal dia jemu dan tidak senang mempelajari sastra, tetapi takut ayahnya marah, dia selalu berpura-pura senang mempelajari ilmu sastra dari seorang guru sekolah yang sengaja diundang oleh Auwyang Bun, guna mendidik anaknya menjadi seorang pelajar, agar kelak dia bisa merebut pangkat dengan mengikuti perlombaan dan ujian Conggoan.
Tetapi memang Auwyang,Hong seorang anak yang nakal, dia hanya berpura-pura didepan ayahnya saja belajar menulis dan membaca, tetapi ketika dia hanya berdua dengan gurunya, Auwyang Hong tidak pernah menuruti apa yang diperintahkan sang guru. Bahkan dia sering bolos, setiap kali ingin pergi lewat jendela dikamarnya, Auwyang Hong selalu mengancam : „Awas kalau suhu memberitahukan kepada ayah !”
Siguru juga tidak mau usil, dia membiarkan saja muridnya itu pergi bermain, sedangkan setiap waktunya telah habis, dia pulang kerumahnya. Yang terpenting bagi siguru surat itu, dia setiap bulan menerima gaji yang lumayan besarnya dari Auwyang Bun.
Pagi itu Auwyang Hong tengah bermain-main diluar rumah, hujan masih saja turun rintik-rintik, waktu itulah Auwyang Hong melihat seorang kakek-kakek tua berusia antara enam puluh tahun lebih, sedang terbaring disudut tembok luar, tertimpah hujan. Yang menarik perhatian Auwyang Hong justru, dia melihat ge nangan darah didekat kakek tua itu, yang rupanya telah beberapa kali memuntahkan darah segar.
Cepat-cepat Auwyang Hong menghampiri orang tua itu, dia heran melihat sikakek yang terengah-engah seperti juga sedang menahan perasaan sakit yang bukan main.
„Yaya (kakek), apakah, yaya sedang sakit?” tanya Auwyang Hong.
Kakek. tua. itu. membuka sedikit matanya, dia melihat anak itu, kemudian matanya dipejamkan lagi, hanya kepalanya yang diangguk-anggukkan.
„Apakah yaya mau obat ?’ Nanti aku mintakan kepada ibu…?” tanya Auwyang Hong lagi.
„Kau baik, anak…!” kata kakek itu dengan suara yang parau.
„Terima kasih……. obat biasa tidak mungkin menyembuhkan, penyakitku… jika memang engkau bersedia menolongku, maka ambilkanlah Jinsom yang telah berusia seribu tahun lebih…… juga” sebotol arak yang telah disimpan ratusan tahun…….!”, kedua macam barang yang diminta kakek tua itu merupakan barang yang sulit diperoleh, karena Jinsom yang telah berusia seribu-tahun lebih sangat mahal harganya, begitu juga dengan arak yang berusia – seratus tahun, sangat mahal harganya.
GAMBAR 02
„Apakah Yaya mau obat ?. Nanti aku mintakan
kepada Ibu ………….? tanya Auwyang Hong lagi.”
Tetapi keluarga Auwyang sebagai keluarga yang kaya raya, barang-barang berharga seperti itu memang dimilikinya.
„Tunggu dulu …….Yaya, aku akan memintakannya kepada ibu….!” kata Auwyang Hong.
Auwyang Hong telah masuk kedalam gedungnya, sedangkan sikakek telah menghela napas.
„Ibumu mana mau memberikan barang-barang berharga seperti itu ?” menggumam kakek tua itu. Dia telah berusaha untuk bangun, guna meninggalkan tempat itu. Tetapi tidak lama kemudian Auwyang Hong telah keluar membawa ke-dua macam barang yang dikehendaki kakek tua itu.
Sikakek jadi tertegun mengawasi anak itu, baru kemudian mengawasi Jinsom yang telah berusia lebih seribu tahun itu..
„Barang-barang yang bagus apakah ayahmu tidak akan memarahimu jika barang-barang ini diberikan kepadaku.?” tanya kakek itu.
„Tidak…. setiap permintaanku selalu dituruti oleh ayah…!” menyahuti Auwyang Hong.
„Terima, kasih anak, engkau baik sekali kata kakek tua itu, kemudian dia telah menelan jinsom itu, diteguk dengan arak simpanan seratus tahun lebih itu.
„Arak yang baik……! Arak yang baik…. !”. kata pengemis itu, dia telah menggigil tubuhnya, berusaha menahan hawa dingin, karena dirinya telah kehujanan sejak beberapa waktu yang lalu.
„Kalau memang Yaya mau beristirahat dirumah, nanti akan kuperintahkan kee-teng untuk mempersiapkan sebuah kamar. Jika Yaya berlalu dalam keadaan hujan seperti ini, nanti sakitmu kambuh lagi…! “
Sinar mata kakek tua itu bersinar sejenak, kemudian guram kembali: „Kau memang baik anak yang manis. !
„Baiklah, jika ayah dan ibumu mengijinkan, aku bersedia tinggal dirumahmu” kata kakek tua Itu.
„Tunggu sebentar yaya, aku akan memberitahukan ayah dan ibu…!” kata Auwyang Hong yang terus masuk kedalam rumahnya lagi, tidak lama kemudian telah muncul bersama Auwyang Bun ayahnya.
„Kata anakku, Hengtai (saudara) ingin berdiam beberapa saat dirumah kami, silakan….. ! Silakan masuk …..!” kata ayah. Auwyang Hong dengan ramah.
Kakek tua itu: cepat-cepat menjura sambil katanya: „Udara demikian buruk, sehingga aku situa penyakitan Lo Sin terpengaruh cuaca. buruk ini dan jatuh sakit……hai, ……hai, aku hanya akan merepotkan kalian…!”
Auwyang Bun mengemukakan beberapa kata lagi untuk mengundang tamunya itu masuk.
Lo Sin ternyata diberi kamar dibelakang gedung, sebuah kamar berukuran kecil tetapi bersih.
Selama seminggu kakektua itu yang-mengaku-bernama Lo Sin telah tinggal digedungnya keluarga Auwyang tersebut. Pada sore-itu Auwyang Hong seperti biasa mengunjunginya.
„Apakah kesehatah Yaya telah pulih kembali !” tanya Auwyang Hong sambil duduk di samping pembaringan orang tua itu.
„Sudah berangsur sembuh, karena, semua ini prawatan engkau juga, anak yang manis…” kata orana tua itu. Setelah berkata begitu, Lo Sin mengawasi Auwyang Hong beberapa saat lamanya, akhirnya dia bilang: „Anak yang manis, engkau sesungguhnya memiliki tulang dan bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat ……. apakah engkau tertarik untuk mempelajari ilmu silat ?”
Auwyang Hong mengangguk:
„Senang ! Jika memang aku bisa mempelajari ilmu silat, tentu aku girang sekali !
Tetapi ayahku…selalu memaksa aku mempelajari ilmu surat belaka … sungguh menyebalkan…!”.
Muka sikakek tua Lo Sin bersinar, matanya juga memancar terang.
„Jika ada orang yang bersedia mengajari engkau ilmu silat, apakah engkau mau ?”
„Mau ! Siapa orang itu Yaya ?”
„Tetapi hal itu harus dirahasiakan…!” kata Lo Sin.
„Tentu Yaya….. karena jika diketahui ayah, tentu ayah akan marah, karena menurut ayah orang-orang yang mempelajari ilmu silat hanyalah orang-orang kasar yang tidak punya guna…….!”
„Ya, memang lebih baik tidak diberitahukan kepada ayah dan ibumu. Aku akan menurunkan ilmu silat kepadamu….!”
„Yaya mengerti ilmu silat ?”
Lo Sin mengangguk.
„Ya….asal engkau mau berjanji tidak akan memberitahukan kepada orang lain, maka aku akan mengangkat engkau menjadi muridku…….!”
Auwyang Hong jadi girang bukan main.
„Terima kasih Ya…suhu I” katanya yang telah merobah panggilan dari Yaya men jadi suhu.
Lo-Sin juga girang sekali.
„Bangun muridku…!” katanya waktu Auwyang Hong berlutut memberi hormat.
„Setiap malam engkau datang kemari, aku akan mengajarimu . silat yang tinggi sekali dan bisa menjadikan engkau seorang jago yang memiliki kepandaian tinggi luar biasa…!”
„Terima kasih suhu, mulai besok malam aku akan selalu mengunjungi suhu untuk meminta petunjuk…!” kata Auwyang Hong.
Begitulah, setiap malam menjelang datang, Auwyang Hong selalu datang kekamar gurunya untuk melatih diri berbagai kepandaian silat.
Semua itu dilakukan dengan diam-diam, seihingga ayah dan ibunya tidak ada yang mengetahui. Hanya Auwyang Hong minta kepada ayahnya, agar Lo Sin diperbolehkan tinggal dirumah mereka, untuk menjadi kawan bermain Auwyang Hong. Melihat rapatnya hubungan mereka, maka Auwyang Bun telah mengijinkan dan mengabulkan permintaan anaknya.
Tanpa terasa dua tahun sudah berlalu, dan Auwyang Hong telah memiliki kepandaian yang lumayan. Karena Lo Sin sesungguhnya adalah seorang tokoh rimba persilatan yang sangat ditakuti dan disegani lawan maupun kawan, karena dia memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Waktu itu dia tengah rebah terluka dimuka gedung Auwyang Bun, karena dia telah melakukan pertempuran dengan beberapa orang jago yang mengeroyok dirinya selama tiga hari tiga malam. Dia bisa membinasakan semua lawannya yang berjumlah tujuh orang, tetapi dia sendiri juga terluka didalam.
Untung saja keluarga Auwyang mengundang dia untuk tinggal digedung mereka, kalau tidak diabisa mati kedinginan. Dengan Jinsom yang telah berusia seribu tahun lebih dan arak yang berusia seratus tahun lebih, luka didalam tubuhnya jadi sembuh.
Dengan dididik oleh Lo Sin, cepat sekali Auwyang Hong memiliki kepandaian yang tinggi, karena justru kepandaian yang diturunkan Lo Sin bukan kepandaian sembarangan.
Sering juga Lo Sin menemani Auwyang Hong menonton kodok-kodok yang tengah berlompatan dipematang sawah.
Saat itulah Lo Sin telah berpikir sesuatu untuk menciptakan semacam ilmu silat yang diambil dari gerakan kodok itu. Dia telah mencoba untuk berjongkok, kemudian mengulurkan kedua tangannya, disalurkan dengan lwekangnya, maka seketika itu juga menyambar angin serangan yang kuat sekali.
„Berhasil ! Aku telah berhasil menciptakan ilmu baru ! Karena diambil dari gerakan kodok, biar kunamakan Ha-mo-kang !”
Auwyang Hong juga girang, dia telah diajari oleh gurunya bagaimana harus meletakkan kedua kaki yang berjongkok itu dengan kuda-kuda yang kuat, dan juga disamping itu harus mengerahkan tenaga ginkangnya: Ternyata Auwyang Hong bisa melakukannya. Tentu saja Auwyang Hong jadi sering sekali pergi kepematang sawah. untuk menyaksikan gerak-gerik kodok-kodok yang terdapat ditempat itu dengan gurunya.
Lo Sin sesungguhnya hanya secara iseng-iseng saja menciptakan ilmu Ha-mo-kang, tetapi kelak justru ilmu itulah yang akan dikembangkan oleh Auwyang Hong menjadi ilmu mujiat yang memiliki kehebatan luar biasa…!
—oo0oo—
(Bersambung Ke Bagian 04)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar