Rabu, 12 Juni 2013

5 Jagoan Luar Biasa (BAGIAN 01 ANG-TOA)

DI JALAN RAYA yang menghubungkan jalan „Cing-an dengan jalan ke-Bu-tong, tampak, ber lari2 seorang-anak lelaki kecil berusia delapan tahun, sambil ber-lari2 begitu, mulutnya tidak hentinya mengoceh seperti bernyanyi.

„Plak, plak, plak,
Kudaku lari keras sekali,
Gagah dengan pedang,
Berani menghadapi maut,
Siapa yang menghadang,
Ditabraknya dengan segera.


Plak, plak, plak,
Kudaku warna bulunya merah,
Larinya keras jika tengah marah,
Meraung keras dengan gagah.
Siapa berani menentangnya ?”

Terus juga anak lelaki itu berlari-lari dengan mulut mengoceh tidak hentinya seperti itu, dia berlari dengan membawa sikap seperti tengah menunggangi seekor kuda, tubuhnya digentak-gentakkan. Tetapi waktu dia melihat seorang anak lelaki sebaya yang sedang bermain kelereng, dan seorang anak lelaki lainnya berusia diantara sepuluh tahun tengah berjongkok untuk menyentil kelerengnya, anak lelaki ini pun menghampirinya.

Tahu-tahu tangan kanannya digerakkan, waktu telah berada dekat dengan kedua orang anak itu, dia telah menjitak kepala, anak yang berusia diantara sepuluh tahun, cukup keras jitakannya itu, sampai memperdengarkan suara ‘takk….. !.’, sedangkan anak yang seorangnya lagi waktu melihat munculnya anak-lelaki yang nakal itu, telah ketakutan dan memutar tubuh bermaksud melarikan diri, tetapi anak lelaki itu telah mengejarnya dan mengayunkan tangaanya, ‘Tak…..!’ kepala anak itu juga telah dijitaknya lagi.

„Serahkan semua kelereng kalian !” kata anak lelaki yang nakal ini.
Kedua anak itu tampaknya takut terhadap anak yang nakal itu, mereka telah memberikan sebagian dari kelereng mereka.

„Jangan diambil semua, Ang-toa (situa Ang)!” kata anak yang berusia sepuluh tahun itu dengan muka meringis menahan takut.

Ang-toa, anak lelaki yang nakal itu, telah mendelikkan matanya, tangan kanannya dengan ringan telah bergerak lagi menjitak kepala anak berusia sepuluh-tahun itu.
„Kepalamu mau bengkak kujitaki terus?” bentak Ang-toa sambil mengulurkan tangannya seperti meminta dengan paksa kelereng kedua anak itu.
Kedua anak tersebut yang memang rupanya jeri berurusan dengan Ang-toa, telah menyerahkan lagi sebagian kelereng mereka, sehingga sebutirpun mereka tidak memilikinya lagi.

Setelah menerima semua kelereng itu, tampak Ang-toa telah ber-lari2 lagi, tangan kanan dan tangan kirinya menepuk-nepuk sakunya, sehingga terdengar „crengggg….., crengggg……!” suara terbenturnya tangan dengan kelereng yang berada didalam sakunya, dan sambil berlari-lari begitu, dia juga telah bernyanyi-nyanyi tiada hentinya dengan lagunya yang cukup jenaka itu :
„Plak, plak, plak, Kudaku lari keras sekali, Gagah dengan pedang, Berani menghadapi maut, Siapa yang menghadang, Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak, Kudaku warna bulunya merah, Larinya keras jika tengah marah, Meraung keras dengan gagah. Siapa berani menentangnya ?……….”

Sikap Ang-toa tampak jenaka, walaupun usianya masih kecil, namun justru yang mengherankan dia dipanggil namanya Ang-toa, situa she Ang.
Diantara sifat-sifatnya yang jenaka, tampak keberandalannya yang agak lumayan, sehiagga anak lelaki berusia lebih besar dari dia saja takut berurusan dengan Ang-toa, yang namanya telah tua tetapi orangnya masih kecil seperti itu.
Setelah berlari-lari beberapa tikungan, dia melihat dipinggir emperan sebuah rumah ada tiga orang anak yang tengah bermain kelereng.
Ang-toa mempercepat larinya, dia telah menghampiri rombongan anak-anak itu.
„Aku ikut main……!” teriaknya sambil memukul-mukul sakunya sehingga kelereng rampasanya memperdengarkan suara berkelintingan.
Ketiga anak lelaki itu telah menoleh waktu mendengar teriakan Ang-toa, dan seketika mereka mereka jadi pucat.

„Oh, aku tadi disuruh ibu pergi kepasar… maaf, aku harus pergi dulu…!” kata anak yang berusia diantara sebelas tahun sambil mengambil kelerengnya, dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
„Hei…., jangan pergi dulu !” bentak Ang-toa mendongkol karena justru anak itu ingin berlari atas kedatangannya ditempat itu.
Anak itu mukanya tambah pucat.
„Aku…benar-benar sedang disuruh ibuku untuk pergi kepasar membeli beras”, menjelaskan anak itu dengan suara yang tergagap.
„Aku tidak mau tahu! Yang jelas aku datang engkau lalu mau pargi…,! Bukankah itu suatu kesalahan yang tidak kecil? Kau telah menghina aku…!” dan Ang-toa telah menghampiri anak itu.
Melihat Ang-toa mendekatinya, anak lelaki berusia, sebelas tahun itu jadi gugup dan mukanya tambah pucat, dia telah mementang kedua kakinya untuk berlari.
Tetapi, A-ng-toa bergerak cepat dia melompat sambil mengayunkan tangannya, „pletak…..!” kepala anak itu kena dijitaknya keras sekali. Anak itu mengaduh, tetapi kakinya tidak berhenti, dia telah lari tergesa-gesa.
Sedangkan Ang-toa telah tertawa keras, kemudian menoleh kepada kedua anak lainnya yang saat itu berjongkok dengan muka yang pucat.
„Dan kalian berdua apakah tidak mau bermain kelereng denganku…?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya, sehingga sikapnya jenaka sekali.
Kedua anak itu menggelengkan kepalanya: „Mana berani kami, tidak menuruti keinginanmu Ang-toa? kata salah seorang diantara mereka dengan suara tergagap karena diliputi perasaan takut.
„Bagus! ‘Mari kita main……!” dan Ang-toa telah mengeluarkan tiga buah kelerengnya, dua buah dilemparkannya ketanah, sambil katanya : „Pasang…!”
Kedua anak itu hanya menuruti saja, mereka masing-masing juga telah memasang dua kelereng mereka, dan kemudian berdiri berjajar dengan Ang-toa dalam jarak tertentu.
„Ang-toa telah melemparkan kelerengnya, begitupun kemudian kedua anak itu.
„Aku jalan dulu !” kata Ang-toa kegirangan melihat kelerengnya berada paling jauh.
„Ya…, ya…, engkau jalan dulu…!” kata salah seorang diantara kedua anak lelaki itu.
Mereka tampaknya bermain kelereng dengan semangat yang tidak ada, karena mereka hanya mengiyakan apa yang dikatakan Ang-toa.
Saat itu Ang-toa telah ber-jongkok, dia menyentil kelerengnya, dan kelerengnya itu meluncur menyerempet pasangan kelereng mereka, tetapi tidak ada sebutirpun kelereng pasangan itu yang terlontar keluar dari lingkaran batas-batas yang telah digambar ditanah.
Walaupun Ang-toa tidak berhasil melnyentil mengenai pasangan, namun dia telah melompat-lompat kegirangan sambil serunya : „Aku kena!
Keenam kelereng itu telah menjadi milikku !”.
Muka kedua anak itn tidak memperlihatkan sikap atau perasaan lain, karena mereka telah berdiri pucat ketakutan, sebab mereka mengetahui siapa Ang-toa, sinakal jenaka ini.
„Ya…… kau ambillah, Ang-toa !” kata mereka hampir berbareng.
Ang-toa mengambil keenam kelereng pasangan itu dan dia telah berkata kepada kedua anak, itu : „Ayo pasang lagi…!”.
„Ang-toa…!” kata salah seorang diantara kedua anak tersebut.
„Kenapa ? Kalian juga tidak mau bermain kelereng denganku ?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Bukan begitu, mendadak sekali perutku sakit ! Engkau ambillah sebelas kelerengku ini, tetapi maafkan aku harus pulang untuk buang air dult …!” dan anak lelaki itu yang berusia diantara dua belas tahun itu telah menyodorkan kelerengnya, yang semuanya diberikan kepada Ang-toa. Rupanya dia memang sudah tidak mau bermain dengan Ang-toa dan lebih rela menyerahkan sisa kelereng yang ada padanya. Ang-toa menerima kelereng-kelereng itu dan memasukkan kedalam sakunya. „Dan engkau…?” tanyanya kepada anak yang seorangnya.
„Aku tadi disuruh ibu untuk membeli ikan” menyahuti anak itu. „Aku baru ingat sekarang, maka aku bermaksud untuk pergi membeli ikan dulu…!”.
„Ah, engkau benar-benar jahat tidak mau menemani aku main kelereng !” kata Ang-toa dan tangannya bergerak menjitak anak itu.
Anak tersebut yang keningnya kena dijitak keras oleh Ang-toa tidak mengaduh, dia hanya menyodorkan sisa kelerengnya yang masih berjumlah delapan buah. „Kau ambillah Ang-toa, aku memang tidak sepandai engkau bermain kelereng, anggap saja aku telah kalah…!”.
Ang-toa sambil tersenyum mengejek telah menerima kedelapan kelereng anak itu, dia telah memasukkan kedalam sakunya. Sedangkan anak itu telah membalikkan tubuhnya untuk berlalu. Anak yang seorangnya lagi juga telah cepat-cepat meninggalkan Ang-toa.
Ang-toa masih berdiri ditempatnya, dia jadi tidak tahu apa yang ingin dilakukannya, hanya tangan kanan dan kiri telah digerak-gerakkan per-lahan2 memukul sakunya sehingga kelereng yang berada didalam sakunya itu telah bergemerincing memperdengarkan suaranya.
„Heran….! Mereka semuanya tidak mau bermain kelereng denganku…! Mengapa begitu? Memang mereka manusia-manusia jahat, selalu mengasingkan diriku…….!” menggumam Ang-toa. Dia tidak menyadari, justru dirinya sendiri yang setiap kali bermain kelereng, tentu akan bermain curang, menang atau tidak, dia harus menang, sehingga anak-anak yang sebaya dengannya tidak berani bermain kelereng dengannya, sebab jika mereka menentang Ang-toa, berarti mereka akan di-jitak dan dipukul oleh Ang-toa, sinakal yang jenaka ini.
Setelah berdiam diri sejenak lamanya ditempat itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, dia sampai dipinggiran kota, berdiri menyender dibatang pohon, dan tangan kanannya satu persatu melemparkan kelerengnya. Akhirnya, kelereng rampasan yang berada disakunya telah habis menggeletak ditanah.
Tetapi Ang-toa tidak berusaha untuk memungut atau mengambil kelereng itu lagi, dia telah ngeloyor pergi meninggalkan tempat tersebut.
Selagi Ang-toa berjalan dengan kepala tertunduk dan kaki menendang-nendang setiap batu kerikil yang dilaluinya, tiba-tiba dia mendengar suara sorak dan pekik riang dari beberapa orang anak-anak.
Waktu Ang-toa melihat serombongan anak lelaki yang tengah berkerumun bermain kelereng, Ang-toa jadi girang kembali. Cepat-cepat dia berlari menghampiri rombongan anak-anak itu yang mungkin berjumlah delapan orang anak:
„Aku ikut main……!” teriak Ang-toa.
„Kau, Ang-toa ?” tanya seorang anak lelaki yang mungkin berusia tiga belas tahun dan memiliki bentuk tubuh yang sehat. „Mana kelerengmu ?”.
„Kalian pinjami dulu, nanti setelah aku menang, aku akan mengembalikannya…!” menyahuti Ang-toa.
„Cisss, enak saja, engkau mau meminjam.! Jika kalah engkau akan menggantinya dengan apa ?
„Aku tidak mungkin kalah…nanti setelah menang aku menggantinya dengan menghadiahi dua kelereng !” kata Ang-toa berusaha untuk membujuk.
Tetapi anak lelaki yang bertubuh Iebih besar dari Ang-toa itu, telah menggelengkan kepalanya.
„Kalau tidak memiliki kelereng, jangan ikut main !” katanya.
„Hei, kok begitu? Mengapa engkau tampaknya tidak senang kalau aku ikut main ?” tanya Ang-toa dengan suara menegur.
„Siapa yang tidak sudi main deagan engkau? Aku mau saja main kelereng denganmu, tetapi engkau harus memiliki kelereng sendiri, jangan seenakmu saja ingin meminjam dulu kelereng kami…!”.
„Bu-ko (engko Bu), engkau jangan begitu… aku berjanji akan mengembalikan kelereng yang kupinjam- itu” membujuk Ang-toa.
„Tidak !”.
.„Dan kau ?” tanya Ang-toa kepada anak lainnya dengan; mata yang dipentang.
„Aku…aku sih mau saja memberikan pinjaman kelereng kepadamu, tetapi engkau tanyakan dulu kepada Bu-ko, apakah dia menyetujui atau tidak !”.
„Mengapa harus begitu? Bukankah kelereng itu milikmu, mengapa aku harut menanyakan pendapat anak she Bu itu ?” suara Ang-toa jang galak.
Bu-ko, anak yang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, telah berkata tidak sabar : „Ang-toa, lebih baik engkau pergi meninggalkan kami, jangan mengganggu permainan kami saja…….
Mendengar perkataan anak itu yang terakhir, Ang-toa rupanya habis sabar, dia telah bilang sambil bertolak pinggang : „Engkau jadi ingin menggertak aku…..? Baik……!
Baik! Aku justru ingin menjitak kepalamu, entah engkau bisa melawan aku atau tidak…!” Dan benar-benar Ang-toa telah melangkah menghampiri si Bu-ko, dia mengayunkan tangannya untuk menjitak kening orang.
Tetapi Bu-ko mana mau membiarkan dirinya dijitak Ang-toa, dengan mendongkol dia telah melompat kesamping mengelakkan jitakan
„Ang-toa, engkau jangan kurang ajar!” bentak anak itu dengan sengit. „Kalau memang engkau terlalu mendesak diriku, jangan persalahkan aku yang akan mengambil tindakan keras kepadamu !”.
„Eh, engkau berani berurusan denganku,?” tanya Ang-toa dengan suara aseran.
„Mengapa harus takut ? Jika memang engkau keterlaluan, tentu siapapun juga berani berurusan denganmu !” menyahuti Bu-ko dengan suara tidak kalah gertak.
”Tetapi Ang-toa rupanya mendongkol bercampur marah, dia telah mendekati Bu-ko.
„Dia harus kutundukkan, jika tidak tentu anak-anak lain berani kurangajar padaku …!” pikir Ang-toa didalam hatinya.
Karena berpikirr begitu, dia telah menggerakkan tangannya untuk menjitak: kepala Bu-ko.
Tetapi karena memang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, disamping dia juga memiliki badan yang cukup besar, Bu-ko tidak takut terhadap jitakan yang dilakukan Ang-toa, bahkan setelah berkelit menghindarkan diri, tahu-tahu kepalan tangannya telah melayang hinggap dihidung Ang-toa, sampai Ang-toa terjungkel diatas tanah.
Matanya berkunang-kunang, tetapi cepat sekali Ang-toa telah melompat bangun, dan dia menyerudukkan kepalanya keperut Bu-ko.
„Bukk……!” si Bu-ko itu telah diseruduk keras sekali perutnya oleh kepala Ang-toa, dia sampai menjerit kesakitan dan telah terjengkang rubuh.
Tetapi Ang-toa benar-benar nakal sekali, dia telah merangkul Bu-ko, dan menggigit telinga lawannya itu.
Keruan saja anak itu jadi menjerit-jerit kesakitan dan berusaha meronta, tetapi Ang-toa tetap menggigit telinga lawannya dengan kuat sekali.
„Ampun tidak ? Berani kurang ajar lagi kepadaku atau tidak ?” tanya Ang-toa melepaskan gigitannya sebentar, dan kemudian menggigit lagi telinga Bu-ko.
Saking kesakitan Bu-ko sampai menangis dia telah berteriak-teriak meminta ampun.
Setelah puas cukup lama meriggigit telinga lawannya, Ang-toa telah melompat bangun, dia mengawasi Bu-ko yang tengah menangis sambil memegangi telinganya yang merah bekas digigit Ang-toa.
„Kalau suatu saat nanti engkau berani banyak lagak lagi dihadapanku, akan kugigit putus telingamu itu !” ancam Ang-toa dengan sikap yang bangga, karena dia telah berhasil mengalahkan lawan yang lebih besar dari.dia, dan membuat lawannya menangis.
„Akan kuberitahukan ayahku…!” kata Bu-ko sambij menangis dan berdiri untuk berlalu.
„Ala, engkau memang besar mulut saja !” kata Ang-toa sambil menjitak kening Bu-ko.
Bu-ko -tidak berani melawannya lagi, dia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu.
Anak-anak lainnya yang menyaksikan ‘jago’ mereka kena dirubuhkan Ang-toa, telah berdiri dengan muka yang pucat pasi ketakutan.
„Sekarang kalian berani bertingkah lagi atau, tidak dihadapanku bentak Ang-toa kepada anak-anak itu.
„Tidak…..! Tidak….! Tadi memang Bu-ko keterlaluan sekali, dia telah menganjurkan kami agar tidak mau menemani engkau bermain kelereng…….”
„Hemm…., orang seperti dia memang harus dihajar……agar kelak tidak besar mulut saja……! Punya badan yang tinggi besar, tetapi nyalinya sebesar nyali tikus !”
Anak-anak yang tengah ketakutan itu memaksakan diri untuk tertawa, padahal hati mereka juga tengah berdenyut-denyut ngeri, karena takut dijitak oleh Ang-toa.
„Ayo, siapa yang mau meminjamkan kelerengnya kepadaku ?” tanya Ang-toa kemudian dengan suara yang nyaring.
„Aku…!”. .
„Aku mau meminjamikan !” kata anak yang lain.
„Ini Ang-toa, kelerengku saja engkau mainkan…! Aku memang bermaksud pulang makan dulu…!” kata anak yang lainnya sambil mengangsurkan semua kelereng miliknya kepada Ang-toa.
Ang-toa menggelengkan kepalanya. dengan mata mendelik besar.
„Kalian beaar-benar kurang ajar sekali !” kata Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Mengapa setiap kali aku mau bermain kelereng, kalian selalu saja ada alasan ini dan itu saja…! Aku tahu, kalian semuanya berdusta, kalian hanya takut bermain kelereng denganku dan mempergunakan berbagai cara untuk dapat menyingkirkan diri…!”
„Mana berani kami memiliki pikiran seperti itu ?” kata salah seorang anak itu cepat.
„Kami sejak dulu dan sampai sekarang, selalu akan mematuhi setiap perkataanmu Ang-toa ! Bukankah kini engkau telah menjadi pemimpin kami semua dengan keberanian dan kepandaian yang engkau miliki itu ?”
Bangga Ang-toa mendengar pujian seperti itu, dia telah mengambil kelereng dari anak yang katanya ingin pulang dulu untuk makan. Mulailah Ang-toa bermain dengan beberapa orang anak-anak itu: Tetapi seorangpun diantara anak-anak itu tidak baleh mengenai sasaran kelerengnya pada pasangan, jika menang sentilannya mengena juga, maka dengan sengit Ang-toa mengayunkan tangannya menjitak kepala anak yang menang itu.
Tetapi jika Ang-toa sendiri, kena atau tidak, dia selalu berteriak dia menang, dan diambilnya semua pasangan itu. Namun lawan-lawan bermainnya itu tidak seorangpun yang berani membantahnya. Disaat itu saku Ang-toa telah penuh dengan kelereng.
Sedangkan anak-anak itu bermain tanpa bersemangat, karena mereka tahu jika menang akan dijitak, lebih baik mereka pura-pura kalah dan setiap kali menyentil kelerengnya selalu mereka memiringkan arahnya tidak kepada pasangannya…!
Akhirnya semua kelereng dari anak-anak itu, yang seluruhnya hampir berjumlah seratus butir, telah berpindah kesaku Ang-toa.
Seorang demi seorang, yang telah habis kelerengnya, menyatakan ingin pulang guna mengambil kelereng lagi, tetapi sesungguhnya mereka semuanya ingin cepat-cepat dapat melepaskan diri dari Ang-toa, yang galak dan main jitak itu.
Setelah semua anak itu berlalu, Ang-toa jadi berdiri bengong seorang diri.
Kelereng disakunya banyak dan berat, dia mengetuk-ngetuk sakunya beberapa kali, kemudian menggumam seorang diri : „Aku mau kemana lagi ?”
Dia mencari-cari memandang sekitarnya, dia ingin mencari anak-anak lainnya. Tetapi disekitar tempat itu tidak terlihat anak-anak lagi.
—oo0oo—
(Bersambung Ke Bagian 01.2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular On Relatemein