Kamis, 13 Juni 2013

5 Jagoan Luar Biasa ( BAGIAN 57 )



SAAT itu It Han merangkapkan tangannya, ia menjura memberi hormat.
„Memang tepat apa yang dikatakan totiang karena memang begitulah keadaannya…. !” kata Jie Han. Dan pinceng juga kagum dengan pemikiran Totiang…….!”
„Dan coba Tai su pikirkan sekali lagi, dengan kepala yang dingin, apakah tidak ada baiknya jika Tai su mengijinkan agar Ang Bian Lo cianpwe itu dipertemukan dengan Ong Mie Tu ?”
„Hemmm, sayang sekali hal itu sama sekali tidak bisa dipenuhi oleh kami maka dari itu kamipun harus berusaba untuk menghormati kalian, disamping kalianpun menghormati keputusan kami …..!” sambil berkata begitu, It Han menjura memberi hormat, dan in berusaha memperlihatkan sikap yang menyesal.

Ong Tiong Yang menghela napas.
„Dengan demik!an, tentunya berarti Tai su memang tetap tidak mau mencari jalan keluar. secara baik2……..!” katanya.
„Bukan begitu, Totiang, tetapi justru kami memiliki kesulitan, yang tentunya tidak bisa begitu saja urusan ini diselesaikan sampai disini sebelum kitab pusaka kami dikembalikan oleh Ong Mie Tu…. !” setelah berkata begitu, It Hon membungkukkan tubuhnva lagi memberi hormat disertai kata2 penyesalannya: „Maaf… maaf….”
Ong Tiong Yang cepat2 menyingkir kesamping, tidak bersedia ia menerima hormat yang diberikan oleh It Han.
„Tai su, kata Ong Tiong Yang kali ini dengan sikap yang serius sekali.
Jika memang Tai su mau berpikir secara panjang, tentunya Tai su memaklumi bahwa dalam hal ini sebenarnya Ang Bian Locianpwe bermaksud baik, dan dia juga bermaksud untuk menyelesaikan urusan bagi Mie Tu Locianpwe dengan kalian jika saja memiliki kesempntan seperti itu…. !
Bagaimana jika Tai su tidak mau meluluskan permintaan kami untuk bertemu dengan Ong Mie Tu Lociaapwe itu, dan kami tidak berdaya membujuknya, tentu urusan ini akan ber-larut2 terus tidak ada habisnya.
Sedangkan jika urusan kecil seperti ini sampai menimbulkan urusan darah dan korban, jelas akan membuat kedua belah pihak merasa tidak enak.
It Han berdiam diri, akhirnya dia berkata dengan suara yang sabar: „Sekali lagi Pinceng mohon maaf karena memang sesungguhnya Pinceng tak bisa meluluskan permintaan kalian berdua, sebelum Ong Mie itu mengembalikan buku pusaka kami.
Jika ia telah mengembelikan, tanpa kalian minta atau mendesak, tentu kami akan membebaskannya percayalah, kami pun tidak bermaksud se-kali2 untuk mempersulh diri Ong Mie Tu…..!”
Setelah barkata begitu. It Han kembali menjura dalam2, sikapnya itu memperlihatkan bahwa dia memang sangat menyesal sekali.
„Lalu kalau memang Ong Mie Tu tidak bersedia mengembaiikan buku itu, apa yang akan dilakukan oieh kalian ?” tanyanya kemudian.
„Kami tetap akan mengurungnya dan menahannya, sampai akhirnya ia bersedia untuk mengambil keputusan yang baik untuk mengembalikan buku pusaka kami………!”
Ong Tiong Yang menoleh kepada Ang Bian sambil tanyanya: „Bagaimana menurut pendapat Ang Bian Cianpwe?”
Ang Bian sebetulnya mendongkol sekali melihat sikap kepala batu dari pendeta2 tersebut namun jelas mereka memang tidak berguna mempergunakan kekerasan kepada pendeta2 tersebut, karena merekapun tidak akan berhasil menerobos keluar dari kepungan barisan para pendeta itu. Oleh karena ini Ong Tiong Yang dan Ang Bian hanya saling pandang, karena Ang Bian tidak bisa mengambil keputusan dengan segera.
Sedangkan Ong Tiong Yang telah menoleh kepada nona Ong yang waktu itu tengah berdiri diluar gelanggang, sambil matanya memandang tajam, dan juga dengan tangan mencekal pedangnya kuat2.
Diwaktu seperti itu, terlihat bahwa gadis tersebut sangat kecewa sekali, karena Ang Bian dan Ong. Tiong Yang tidak berhasil menerobos barisan pendeta itu. Dan juga memang ia sangat kecewa karena mengetahui bahwa kepandaian yang dimiliknya masih berada jauh dibawah kepandaian Ong Tiong Yang dan Ang Bian, berarti ia juga tidak bisa berbuat banyak lagi kepada kesepuluh pendeta tersebut.
Waktu itulah Ong Tiong Yang segera teringat sesuatu, segera, ia berkata: „Nah Tai su, bagaimana jika Tai su mengambil sedikit kebijak sanaan dalam urusan ini ….?”
„Maksud Totiang?” tanya It Han. ,
„Bagaimana jika Tai su mengijinkan nona Ong itu menemui ayahnya, untuk membujuknya kepada sang ayah itu, agar bersedia mengembalikan barang yang telah diambilnya dari tangan kalian”.
It Han berdiam sejenak, lalu dengan suara perlahan ia berunding dengan saudara2 seperguruannya.
Waktu itu Ong Tiong Yang dan Ang Bian telah menantikan dengan sabar.
Sejam kemudian. pibak Cap Lo Sian Han mengambil keputusan. Menolak juga permintaan Ong Tiong Yang.
Melihat sikap kepala batu dari para pendeta itu Ong Tiong Yang jadi semakin penasaran.
„Tai su, kami telah berusaha mengalah dan tidak menimbulkan bentrokan diantara kita, lalu mengapa justru pihak Tai su sama sekali tidak memperlihatkan sikap mau mengerti ?”
Ditanya begitu It Han kembali tersenyum. Ia meminta maaf sambil menjura.
„Walaupun bagaimana kami tidak bisa melanggar keputusan kami, bahwa kami tidak akan mengijinkan siapapun menemui Ong Mie Tu, jika memang kitab itu belum dikembalikan…!”
„Tetapi dengan mempertemukan puterinya itu dengan Ong Mie Tu, bukankah hal yang baik, bisa menggerakkan hatinya untuk berlaku lunak dan merobah pendiriannya, lalu menyerahkan kembali kitab pusaka, kalian?”
Ditanya begitu, oleh pertanyaan yang adil It Han kembali berunding dengan saudara2 seperguruannya.
Disaat itu tampak Ong Tiong Yang mendesak lagi: „Janganlah Tai su mangambil keputusan yang berat sebelah, kita harus berusaha mengambil jalan yang baik, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak enak. Bagaimana jika urusan inipun sampai ditelinga sahabat2 Ong Mie Tu?, tentu akan berdatangan juga sahabat2-nya, yang berarti akan menimbulkan kericuhan dan pertempuran yang tidak berkesudahan dan akan membuat kalian juga memperoleh gangguan yang tidak kecil…. dalam hal ini, membuat Tai su bersepuluh juga jadi tidak tenang.”
Tetapi It Han tersenyum sabar katanya: ,,Untuk urusan itu memang telah kami pikirkan masak2, namun kami tidak akan merobah pendirian kami, selain jika memang kami ini telah menerima kembali kitab pusaka kami itu dari tangan Ong Mie Tu…!”
Melihat sikap keras kepala dari para pendeta tersebut, Ong Tiong Yang jadi naik darah juga. Karena dia telah berusaha untuk dapat membu juk para pepdeta itu, tetapi justru para pendeta itu keras dan tetap dengan pendiriannya. Maka akhirnya Ong Tiong Yang berkata dengan nada yang cukup keras.
„Jika memang Tai su semua tidak mau memberikan muka terang sedikitpun kepada kami, maafkan….maafkan kan kami juga tidak berdaya lagi untuk menerima segala keputusan Tai su.”
„Lalu apa yang dikehendaki Totiang ?”
„Berusaha untuk merebut Ong Mie Tu !”
„Apakah Totiang telah memikirkan keputusan itu ?”
,,Kami sudah tidak..memiliki jalan lain..!” ,,Mengapa begitu ?”
„Karena justru kami telah berusaha mengalah dan berlaku lunak, namun selama itu dari pihak Tai su tidak memperlibatkan sedikit pun’sikap mangalah, maka kami akan mempergunakan seluruh kesanggupan kami, untuk berusaha merebut Ong Mie Tu dengan kekerasan !”
„Baikiah….!” kata pendeta tersebut. .Tentunya dalam hal ini akan membuat Ong Totiang akan menyesal, karena seperti tadi telah dirasakan. oleh Ong Totiang berdua dengan Ang Bian Siecu, kalian tidak akan sanggup menggempur barisan kami….!”
„Jika memang demikiannya urusannya, baiklah. Kami hanya akan coba2 saja !” kata Ong Tiong Yang. Dan setelah itu Ong Tiong Yang menyelipkan gagang hudtimnya diikat pinggangnya, ia mencabut pedangnya yang sejak tadi digamblok dipinggangnya.
„Keluarkanlah senjata Tai su semua, karena maafkan. Pinto harus mempergunakan senjata tajam ini untuk main2.” Dan setelah berkata begitu. Ong Tiong Yang mengebutkan pedangnya ditengah udara, memper-dengarkan suara mengaung. “
„Pedang yang bagus….!”. memuji It Han dan ia menoleh kepada kesembilan saudara seperguruannya, sambil katanya: „Mari kita main-main sebentar dengan senjata kita!” dan semuanya telah mengeluarkan senjata mereka masing dari dalam saku mereka yang semuanya ternyata terdiri dari dua batang bokkie, yaitu alat untuk bersembahyang.
“Karena kami setiap hari hanya bersembahyang dan mengurusi kuil ini, kami tidak memiliki senjata lainnya, kami hanya memiliki bokkie ini untuk dipergunakan sebagai senjata!”
Ong Tiong Yang memandzng heran.
„Apakah . . apakah kalian tidak akan menyesal?! tanyanya. Karena Ong Tiong Yang melihat bahwa bokkie itu tidak pantas dipergunakan untuk menghadapi pedangnya.
Tetapi It Han telah tersenyum, katanya dengan penuh keyakinan. „Walaupun kami setiap hari sembahyang, tetapi bokkie ini memang yang selalu menemani kami dan belum pernah kami gagal!”
Ong Tiong Yang melirik kegada Ang Bian, dilihatnya Ang Bian,tengah mengeluarkan senjatanya, yang terdiri dari sebatang kipas yang terbuat dari besi, yang bisa diiipat dan ditutup.
Jika dibuka lipatannya, akan terlihat bersusun pisau2 tajam dari tulang kipas itu, dan jika di tutup, akan merupakan alat menotok yang baik sekali.
Aku telah siap, Ong Totiang……!” katanya kemudian, sambil me-ngibas2-kan kipasnya yang agak luar biasa.
Begitulah, antara kesepuluh pendeta Cap Lo Sian Han dengan Ong Tiong Yang dan Ang Bian saling berhadapan, mereka telah saling tatap dengan keadaan bersiap sedia, dimana mereka akan segera turun tangan.
Non’ Ong yang melihat ini telah mengawasi dengan hati yang agak berdebar, karena ia menyadari bahwa pertempuran yang keras dan berbahaya akan segera terjadi.
Ong Tiong Yang sekali lagi mengebut ke-udara dengan pedangnya. „Kansi terpaksa harus mempergunakan senjata tajam untuk main2…. kami terpaksa sekali….!”
Dan dengan habisnya perkataannya itu tahu-tahu Ong Tiong Yang menggerakkan pedangnya melancarkan tikaman.
Gerakan tiba2 seperti itu meluncur menyambar kearah dada Liok Han.
Tetapi pendeta yang seorang ini, yang berdiri disebelah kanan dari Ong Tiong Yang menangkis dengan mempergunakan Bokkienya. Gerakan yang dilakukannya cukup cepat, karena pedang Ong Tiong Yang berhasil ditangkisnya menimbulkan suara benturan yang keras, terayata bokkie ditangan pendeta itu terbuat dari besi murni dicampur bahan2 lainnya. sehingga menjadi senjata yang kuat dan tidak mudah terputuskan atau terpatahkan oleh tabasan senjata mustika.
Keadaan demikian telah memaksa Ong Tiong Yang harus menggeser kedudukan kakinya lalu menggerakkan pedangnya menikam lagi kepada Jie Han. Gerakan itu memang benar-benar merupakan tikaman yang cepat dan juga berbahaya karena pedang Ong Tiong Yang menyambar dengan digetarkan, akan menikam paha lawannya. Jie Han sampai mengeluarkan suara dengan seruan kaget, karena untuk menangkis dengan Bokkie ditangannya ia sudah bisa melakukannya, akibat mata pedang yang telah menyambar dekat sekali dengan pahanya. Namun sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Jie Han tidak mau begitu saja membiarkan pahanya menjadi umpan pedang.

Cepat dan gesit sekali ia melompat mundur dengan tergesa, hampir terguling.
Untung Sam Han menotok bokkienya kearah punggung Ong Tiong Yang, mcmbuat Ong Tiong Yang tidak bisa meneruskan tikamannya itu.
Perbuatannya itu memaksa Ong Tiong Yang memiringkan tubuhnya dan mengebutkan Pedangnya kebelakang, guna menangkis totokan bokkie lawannya.
Bagitulah, silih bergaati merekasaling menyerang.
—oo0oo—
(Bersambung ke bagian 58)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular On Relatemein