SEEKOR kuda tengah berlari dengan cepat memasuki kota Bun-siong-kwan, penunggang kuda itu seorang pemuda pelajar. Dialah Thung Liu Cie.
Dia telah bertanya-tanya kepada para penduduk, dimana letak gedung Tiekwan (hakim) dikota tersebut, atas petunjuk penduduk kota itu akhirn-ya Thung Liu Lie telah tiba digedung Tiekwan yang mewah dan megah sekali.
Seorang Kee-teng (pesuruh) telah keluar sambil menyambuti tali les kuda sipemuda pelajar itu.
„Lopeh (paman) apakah ini gedung Tiek-wan ?” tanya pelajar itu.
„Benar Kongcu, apakah Kongcu ingin menyampaikan suatu pengaduan ?”
„Bukan…….engkau tolong beritahukan, keponakan Tiekwan Thung Siang Bun yang bernama Thung Liu Cie ingin datang menghadap mengunjuk hormat…….!”
Mendengar Thung Liu Cie adalah keponakan dalam dari majikannya, Kee-teng itu jadi memperlihatkan sikap yang hormat sekali.
„Mari silahkan masuk! Kongcu….. Mari silahkan masuk !” dia mempersilahkan tamunya itu, yang diajaknya keruang tamu. Kemudian dia meninggalkan tamu itu sejenak, untuk masuk kedalam memberikan laporan kepada majikannya.
Tidak lama kemudian tampak keluar seorang lelaki bermuka agung dan angker, bertubuh besar dan agak gemuk, dia telah. melangkah keruang tamu.
Thung Liu Cie cepat-cepat bangun dari duduknya dan menjura memberi hormat sambil panggilnya : „Siok-siok!”
„Hemm…….., apa maksumu mencariku kemari tanya sang paman itu, yang menjabat kekuasaan sebagai Tiekwan dikota ini.
„Siok-siok, ibu telah meminta agar Tit-lie membawa surat ini untuk Siok-siok……..!” sambl berkata begitu, Thung Liu Cie telah mengeluarkan segulung surat, diangsurkan dengan kedua tangannya, sikapnya hormat sekali.
„Bagaimana keadaan ayahmu, apakah sehat-sehat saja. ?” tanya Tiekwan she Thung itu.
Ditanya begitu, wajah Thung Liu Cie jadi berobah murung
„Baru dua bulan yang lalu Ayah menutup mata ………… ” dia menjelaskan dengan kepala tertunduk.
„Apa………….” tanya Tiekwan she Thung itu yang terkejut mendengar kakaknya telah meninggal. „Mengapa aku tidak diberitahu………..?”
—oo0oo—-
SEKARANG ini ibu telah memerintahkan agar aku memberitahukan kepada Sioksiok ! Dulu kami tidak memberi khabar karena takut mengganggu kesibukan Siok-siok…”.
„Hemmm…………”, dan Thung Tiekwan telah membaca surat dari enso, iparnya itu.
Selesai membaca surat itu, Thung Tiekwan telah menggulung kembali surat itu, dia memasukkan kedalam saku jubahnya, kemudian mengawasi keponakannya itu.
„Engkau memiliki ilmu silat dan surat…?” tanyanya.
„Benar Siok-siok ! Hanya sedikit-sedikit !” menyahuti Thung Liu Cie.
„Ibumu meminta agar aku memasukkan engkau bekerja sebagai pegawai pemerintah, agar kelak tahun depan engkau bisa mengikuti ujian Conggoan !”
,,Itupun telah diceritakan ibu kepadaku…” kata Thung Liu Cie.
„Baiklah, untuk sementara ini-engkau membantu-bantu aku dulu…….! Karena menurut ibumu engkau memiliki ilmu silat yang lumayan, maka engkau kuangkat sebagai pimpinan dari pasukan keamananku………! Maukah engkau menerimanya?”
„Tentu saja Siok-siok…!” kata Thung Liu Cie. Bahkan aku sangat berterima kasih sekali jika memang Siok-siok mau menerimaku bekerja dikantormu ini………! Terima kasih Siok-siok…….!”.
„Hemm………, mulai besok engkau baru mengurusi pekerjaanmu, sekarang pergilah engkau beristirahat dulu!” dan setelah berkata begitu, Thung Tiekwan telah menoleh kepada Kee-teng yang diperintah mempersiapkan kamar untuk keponakannya ini.
„Hiantit (keponakan), engkau mengasolah dulu, jika ada sesuatu yang engkau perlukan, minta saja pada Ouw Kee-teng (pesuruh Ouw)…….”
„Terima kasih Siok-siok…….!”. .
Begitulah. Thung Liu Cie telah diajak Kee-teng she Ouw itu kesebuah kamar yang terletak dibelakang gedung, tetapi kamar itu rapih dan bersih, disamping diisi oleh benda-benda yang antik dan mahal harganya, sebab Thung Tiekwan merupakan seorang hakim yang memiliki kekayaan banyak sekali.
Setelah dua hari mengasoh, malam ketiganya Thung Liu Cie mulai melakukan tugasnya, dia telah berjaga malam bersama beberapa orang pengawal, keselamatan Tie,kwan she Thung tersebut.
Malam itu sepi dan hening telah lewat, begitu juga malam-malam berikutnya, tidak pernah terjadi urusan yang aneh dan lain dari biasanya. Setelah bekerja satu bulan digedung pamannya Thung Liu Cie mulai merasa bosan. Untuk mengisi kesepian dimalam hari, dia sering membaca buku-buku syair kuno.
Tetapi suatu malam, disaat dia tengah mengantuk dan memaksakan matanya membaca buku-buku syair kuno, tiba-tiba pendengarannya mendengar suara yang tidak wajar, seperti juga ada orang yang tengah berjalan diatas genting.
Dengan gerakan yang gesit, Thung Liu Cie telah melompat keatas genting, dia melihat sesosok bayangan hitam tengah berkelebat-kelebat melakukan perjalanan diatas genting gedung Tiekwan.
Dengan segera Thung Liu Cie ‘telah mencabut pedangnya, dia mengejarnya.
„Berhenti..:!” bentaknya. „Apa yang tengah engkau lakukan ?”
Bayangan hitam itu rupanya terkejut mendengar bentakan Thung Liu Cie, dia telah menoleh. Ternyata sosok bayangan hitam itu bertubuh kecil dan pendek, dan waktu Thung Liu Cie menegaskan, dia jadi kaget, karena sosok bayangan itu tidak lain Ang-toa, anak yang pernah dibanting-bantingnya beberapa bulan yang lalu dikuil rusak diluar kota, yang kemudian diketahuinya sebagai sahabat sipengemis tua Ie Hong Sin Kay.
„Kau ?” tanyanya kemudian dengan suara yang ragu-ragu
Ang-toa nyengir, katanya: „Perutku sedang lapar, aku ingin mencari makanan… apakah engkau menyimpan makanan yang lezat ? Bagi aku sedikit, ya……..!”.
„Engkau ingin meminta makanan……..?” tanya Thung Liu Cie sambil tersenyum sinais. „Dulu engkau mengakui dirimu bukan pengemis………!”.
„Sekarang dengan dulu lain dan ada perbedaannya. Dulu waktu aku bertemu dengan engkau memang aku bukan pengemis, tetapi setelah itu, aku bersedia untuk masuk sebagai anggota Kay pang !
Maukah engkau membagi makanan untukku ?”
„Mana…mana itu Ye Hong Sin Kay Locianpwe?”
Apakah tidak ikut serta denganmu ?”.
„Guruku tengah menunggui dikuil rusak tempo hari, dan memang sudah menjadi kewajibanku untuk mencari makanan…….!” kata Ang-toa sambil tersenyum.
„Jad…i.., jadi Ie Hong Sin Kay itu gurumu? Dulu kalian mengatakan hanya bersahabat…….!” kata Thung Liu Cie bimbang.
„Justru setelah bertemu dengan engkau dan aku ditolongi, maka sejak saat itu kami telah mengangkat murid dan guru !” menjelaskan Angtoa.
„Tunggu sebertar, aku akan mengambilkan engkau makanan yang kau kehendaki…!” bergitulah Thung Liu Cie telah melompat turun dan perintahkan seorang kee-teng untuk membungkus ayam panggang dan bebek panggang, dicampur dengan sayur kering dan dua bungkus nasi.
Dibawanya semua itu keatas genting dan diserahkannya ‘kepada Ang-toa.
„Terima kasih engko yang baik…… aku tidak bisa lama-lama disini, karena guruku juga tengah menantikan pulangnya aku dengan perut yang herkeruyukan……..!”.
Thung Liu Cie mengiyakan, dan mengawasi kepergian anak itu. Dia melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimiliki Ang-toa masih rendah sekali, itulah sebabnya tadi Thung Liu Cie bisa mendengar suara langkah kakinya. Tetapi dengan bisa melompati genting yang satu kegenting yang lainnya, Ang-toa cukup lumayan hanya dalam beberapa bulan telah bisa memiliki ginkang seperti yang telah dimilikinya, apa lagi usianya memang masih sangat muda, mungkin baru delapan tahun.
Setelah keluar dari gedung Tiekwan, Ang-toa berlari-lari dengan cepat menuju kekuil rusak disebelah luar pintu kota. Didalam kuil rusak itu tampak le Hong Sin Kay tengah rebah tidur.
Begitu mendengar suara langkah kaki muridnya, pengemis tua itu telah melompat bangun sambil bertanya : „Berhasilkah, Ang-toa ?”.
„Berhasil Suhu…!” menyahuti Ang-toa.
„Aku mengambilnya digedung Tiekwan !”
„Edan kau ! Mengapa mendatangi gedung macan ?
Bukankah jika engkau tertangkap aku yang akan repot ?
Mengapa tidak mengambiinya dirumah-rumah makan saja…….?”
Tetapi yang terpenting aku telah berhasil, suhu !” menyahuti Ang-toa.
Dan kemudian Ang-toa telah membuka dua bungkusan besar itu, mata Ie Hong Sin Kay jadi terpentang lebar-lebar.
„Hebat juga engkau, sekarang telah bisa mengambil dengan ilmu yang kuajarkan…!” kata Ie Hong Sin Kay sambil tersenyum.
„Bukan suhu……!” membantah Ang-toa.
„Eh, kenapa bukan ?”
„Aku bukan mengambilnya sendiri……..”
„Lalu ?”
„Aku masih mempergunakan caraku yang lama, yaitu meminta kerelaan orang untuk memberinya…!” menjelaskan Ang-toa.
„Memangnya digedung Tiekwan itu engkau bertemu dengan siapa sehingga orang itu baik.hati memberikan demikian banyak makanan kepadamu ?”
„Yang menjaga malam adalah orang she Thung yang pernah dihajar oleh suhu dikuil ini…….. dia yang telah memberikannya !”
Mendengar begitu, Ie, Hong Sin Kay tertawa bergelak-gelak.
Begitulah guru dan murid telah bersantap sambil bercakap-cakap dengan gembira.
Rupanya Ie Hong Sin Kay juga seorang pengemis yang kuat makannya, terbukti makanan dan nasi yang begitu banyak telah dapat dihabiskannya berdua dengan muridnya.
le Hong Sin Kay adalah seorang pengemis yang terkenal sekali didalam rimba persilatan, karena bukan kepandaiannya saja yang tinggi, diapun merupakan Pangcu dari Kaypang. Hanya saja, tugas untuk mengurus perkumpulan Kaypang itu telah diserahkan kepada keenam orang muridnya ! Dan sudah sepuluh tahun lamanya Ie Hong Sin Kay mengembara dari kota yang satu kekota lainnya, dia telah banyak melakukaa perbuatan-perbuatan amal kebajikan menolongi orang-orang yang tengah dalam kesulitan dan tertindas.
Sehingga nama Ie Hong Sin Kay yang sebenarnya bernama Kiauw Cie Bauw, sangat disegarii oleh orang-orang yang melakukan pekerjaan berdagang tanpa modal, yaitu ‘perampok.
Waktu dia berada dikota Bun-siong-kwan inilah kebetulan sekali dia melihat Ang-toa, yang senang sekali menjitaki kepala anak-anak sebaya dengannya, dan karena tertarik, Kiauw Cie Bauw telah mengikuti Ang-toa sampai dia ‘bisa melihat bagaimana Ang-toa memaksa untuk mengambil ayam panggang dan telah dibanting dan dilempar para pelayan itu, namun Anak au terus juga nekad ingin memasuki ruang rumah makan itu.
Betapa kagum hati Kiauw Cie Bauw melihat sifat anak yang keras hati itu. Diapun melihat Ang-toa memiliki bakat dan tulang yang baik untuk dididik ilmu silat.
Itulah sebabnya Kiauw Cie Bauw telah memperlihatkan diri dan mengajak mengikat tali persahabatan. Kemudian sampai dia akhirnya menolongi anak itu, yang diakhiri dengan pengangkatan guru dan murid diantara mereka- berdua.
Sejak saat itu Kiauw Cie Bauw telah mendidik Ang-toa ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh. Semuanya baru merupakan dasarnya saja.
Tetapi dugaannya memang tidak meleset, bahwa Ang-toa memiliki tulang dan bakat yang baik, begitu diajarkan, segera dia bisa menguasai
jurus-jurus yang diturunkannya, sehingga Kiauw Cie Bauw semakin bersemangat, dia telah menurunkan beberapa macam kepandaian lainnya lagi.
Setelah tiga bulan lamanya mereka berdua berdiam dikuil rusak itu, urusan mengambil makanan mulai diserahkan kepada Ang-toa, karena Kiauw Cie Bauw bermaksud untuk menguji muridnya itu.
Tetapi malam pertama Ang-toa melakukan operasinya untuk mengambil barang makanan tanpa setahu pemiliknya, dia tiba digedung Tie-kwan, dan tidak tertluga justru bertemu dengan Thung Liu Cie, sehingga dia berhasil membawa pulang makanan dalam jumlah yang banyak itu.
Hari-hari berikutnya. juga Kiauw Cie Bauw perintahkan muridnya itu untuk mengambil makanan. Semakin lama Ang-toa semakin bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga gurunya percaya ginkang Ang-toa telah mengalami kemajuan yang pesat.
Ang-toa juga! rajin sekali melatih diri, dia telah merasakan paedahnya berguru dengan Kiauw Cie Bauw, karena dalam beberapa bulan saja dia mulai dapat melompat keatas genting rumah penduduk, dimana dia bisa berlari-lari dengan gesit digenting-genting rumah penduduk. Melihat kemajuan yang pesat itu, Kiauw Cie Bauw yakin, dalam lima atau enam tahun, Ang-toa tentunya akan memiliki kepandaian yang cukup tinggi, setidak-tidaknya separoh kepandaian sang guru ini akan dapat dikuasainya. Dengan demikian Ang-toa sangat disayang oleh gurunya itu.
„Engkau merupakan murid terbungsu, karena keenam saudara-saudara seperguruanmu telah berusia diatas tiga puluh tahun, mereka telah mempelajari sebagian besar dari kepandaianku. Tapi waktu mereka belajar ilmu silat dibawah bimbinganku, kemajuan mereka sangat lambat sekali, tidak seperti engkau yang bisa meniguasai setiap jurus dengan cepat. Dan engkau merupakan murid penutup juga, maka engkau harus rajin-rajin melatih diri, jangan sampai nanti membuat coreng dimukaku…… aku tidak mau jika kelak engkau telah berhasil mempelajari kepandaianku, lalu engkau rubuh ditangan seorang bubeng siauwcut, yaitu maling kecil tidak bernama.
Kau mengerti Ang-toa ?”
„Mengerti Suhu ……. jangan kuatir tentu aku akan berusaha untuk dapat melatih diri dengan baik, sehingga kelak aku tidak akan mendatangkan malu terhadap nama suhu yang harum…!”
„Akh…….., kata-katamu seperti seorang pelajar saja !” kata Ie Hong Sin Kay Kiauw Cie Bauw: „Engkau bilang saja suhu, aku tidak akan melakukan perbuatan buruk. Itupun sudah lebih dari cukup. Atau engkau bilang juga :„Suhu, aku akan menjaga nama Kaypang”. Tidak perlu. engkau bicara panjang lebar seperti itu…!”.
Ang-toa tertawa, dia merasakan sifat gurunya hampir sama dengan sifat-sifatnya sendiri, yang senang blak-blakan, maka semakin senang saja dia berguru kepada pengemis tua yang liehay kepandaiannya ini.
„Dan karena engkau, merupakan muridku ,yang ketujuh, dan engkau juga merupakan murid penutup, maka namamu yang Ang-toa itu kurobah, sekarang bukan si Ang yang tua, tetapi engkau memiliki nama Ang Cit Kong………!” „…. nama yang bagus sekali suhu !”
„Nah, dengan memakai nama Cit Kong dan mempergunakan terus she-mu, berarti lengkaplah namamu…….!” kata Kiauw Cie Bauw.
Ang-toa yang kini telah memiliki nama Cit Kong, telah mengucapkan terima kasih kepada gurunya yang telah memberikan nama kepadanrya. Ie Hong Sin Kay Kiauw Cie Bauw tampak sangat menyayangi muridnya yang bungsu ini, dia telah menurunkan seluruh ilmu silatnya.
Setahun saja Ang Cit Kong telah menerima belasan macam ilmu silat Kiauw Cie Bauw. Begitulah, untuk seterusnya Ang Cit Kong telah mengikuti gurunya Ini mengembara, setiap ada kesempatan, Kiauw Cie Bauw tentu meddidik muridnya dengan berbagai ilmunya dan Ang Cit Kong juga selain gemar berjenaka, dia merupakan seorang anak yang rajin, maka setiap jurus yang diajari oleh gurunya dapat dipahaminya dengan cepat.
Seringkali Kiauw Cie Bauw berkata kepada muridnya yang bungsu itu: „Cit Kong, engkau harus melatih diri deggan giat, karena engkau sebagai murid penutup dari pintu perguruanku, jika sampai engkau gagal melatih diri dan kelak diperhina orang, akan menyebabkan pamor gurumu jatuh. Maka dari itu, jika engkau memiliki waktu senggang, engkau harus melatih diri terus, agar lebih cepat lagi engkau bisa menguasai ilmu Kaypang. Nanti akupun akan mengajari ilmu tongkat butut Kaypang kami yaitu Tongkat Pemukul Anjing. Engkau jangan melihat dari namanya ilmu tongkat itu, tetapi justru ilmu tongkat itulah merupakan kepandaian yang sampai sekarang ini jarang ada yang bisa menandinginya…!”. ,
„Jangan kuatir suhu, aku tentu tidak akan mensia-siakan kepercayaan suhu yang telah menurunkan berbagai kepandaian kepadaku! Jelas aku akan berusaha mempelajari dan melatih diri dengan giat, agar kelak aku tidak perlu mendatangkan malu untuk pintu perguruan suhu…….!” kata Ang Cit Kong dengan suara yang mengandung tekad yang kuat. Karena dia percaya, kepandaian gurunya sangat tinggi sekali, sebab baru setahun lebih dia melatih diri dibawah asuhan Kiauw Cie Bauw, dia sudah bisa memukul rubuh orang-orang dewasa bahkan selama itu pekerjaan mencari makanan dilakukan oleh Ang Cit Kong.
Lompatan yang bisa dilakukannya juga sangat ringan sekali, melompat keatas genting rumah penduduk dapat dilakukan dengan mudah, karena ginkangnya telab lumayan. Bahkan jika baru jago-jago yang memiliki kepandaian tanggung jangan harap bisa merubuhkan Ang Cit Kong, karena dalam setahun lebih Ang Cit Kong telah berhasil menguasai beberapa jurus penting dari ilmu silat bertangan kosong yang diturunkan oleh Kiauw Cie Bauw.
Karena telah setahun lebih selalu bersama-sama dengan Kiauw Cie Bauw, akhirnya Ang Cit Kong sudah tidak canggung lagi memakai pakaian tambalan dan juga membawa sikap sebagai, pengemis kecil. Namun dalam usia sepuluh tahun seperti itu Cit Kong bukan sembarangan pengemis kecil, dia mulai memiliki kepandaian yang lumayan tingginya.
—oo0oo—
(Bersambung Ke Bagian 03)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar