SELAMA dalam perjalanan mengembara bersama Ang Bian, Ong Tiong Yang banyak menerima petunjuk dari Ang Bian, karena memang Ang Bian jauh lebih berpengalaman dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Ong Tiong Yang.
Karena merasa memiliki sifat yang agak cocok satu dengan yang lainnya, Ang Bian mau memberikan petunjuk-nya kepada Ong Tiong Yang.
Malah setelah mengembara bersama satu bulan lebih, suatu malam Ang Bian telah membuka topeng merahnya memperlihatkan wajahnya kepada Ong Tiong Yang.
Karena merasa memiliki sifat yang agak cocok satu dengan yang lainnya, Ang Bian mau memberikan petunjuk-nya kepada Ong Tiong Yang.
Malah setelah mengembara bersama satu bulan lebih, suatu malam Ang Bian telah membuka topeng merahnya memperlihatkan wajahnya kepada Ong Tiong Yang.
Ternyata muka Ang Bian sangat rusak, menurut cerita Ang Bian mukanya bercacad seperti itu karena ia pernah terbakar, dalam suatu kecclakaan pada pertempuran dengan lawannya.
Untuk menutupi cacad pada mukanya, Ang Bian mempergunakan topeng merah itu sebagai topeng.
Ong Tiong Yang juga merasakan, selama ia bersahabat dengan Ang Bian cukup banyak petunjuk berharga yang diterimanya membuat ia semakin mengerti latihan sinkang yang lebih tinggi. Disamping itu, Ang Bian juga memberikan ketera ngan kepada Ong Tiong Yang untuk menutupi kelemahan2 yang dimiliki tojin muda tersebut. Karena keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Ang Bian, kemajuan yang diperoleh Ong Tiong Yang kian pesat.
Ang Bian telah memberitahukan juga bahwa nama yang sebenarnya adalah Cie Tuk Sie dan karena ia selelu mengenakan topeng merah, selalu orang, memanggil dengan sebutan Ang Bian.
Sedangkan Aug Bian sendiri menyatakan sangat kagum pada Ong Tiong Yang, walaupun tojin tersebut masih berusia muda belia, kenya taannya ia begitu bijaksara dan memiliki pemikiran yang luas.
„Kalau saja engkau bisa berlatih diri dengan tekun dan memperoleh petunjuk yang lebih jauh dari orang sakti, tentu engkau kelak akan menjadi soorang jago yang sulit dicari tandingannya….!” puji Ang Bian alias Cie Tiok Sie, dan kulihat sinkang yang engkau miliki itu merupakan sinkang lurus dan bersih., maka semakin liehay saja, sehingga tidak mudah orang akan menandingi dirimu…..!”
„Ong Tiong Yang justru merendahkan diri dan menanyakan dimana saja kelemahan2-nya.
Ang Bian memberitahukan bagian2 yang lemah dan lowongan pada diri Ong Tiong Yang, sampai akhirnya dia bisa menjelaskan juga latihan2 yang bisa mengangkat tenaga Tan Tiau tenaga murni dari jantung untuk disalurkan membuka nadi.
Memperoleh petunjuk seperti itu, Ong Tiong Yang girang sekaii. Dan memang akhir2 ini ke majuan yang di capai Ong Tiong Yang tidak sedikit.
Hampir setengah tahun mereka mengembara ber-sama2 dan selama itu Ong Tiong Yang juga senang sekali melakukan perjalanan bersama dengan Ang Bian Cie Tiok Sie. Tetapi suatu sore Cie Tiok Sie telah berkata bahwa ia tahun ini berusia tujuh puluh tahun dan bermaksud hendak mengundurkan diri dengan hidup mengasingkan diri disebuah tempat yang tenang dan sunyi. Maka ia ingin berpisah dengan Ong Tiong Yang.
Walaupun perpisahan itu terasa cukup berat, namun Ong Tiong Yang akhirnaya harus berpisah dengan Ang Bian. Mereka masirg2 telah megaanbil jalan sendiri2. Ong Tiong Yang menuju keselatan. sedangkan Ang Bian mengambil aral, utara….
Sejak seat itu Ong Tiong Yang me’akui an pcrjalauan uutuk me4gair.a.kan kepandalannva.
Sambil m^lakukln psrjalanan, sztiap Yda. keR aampatan, Ong Tiong Yang selalu melati6 diri dsigan giat, sohingga la memperaleh kemajuda’ yaoiz pesat sekali. Dan di-saat2 seperti itu, Ong Tiong. Yang telah bisa “meecapai k.emajuao dua ctngkai pads tenaga skangnyat .
Waktu itu, sesuogguhnya didaera6 Selatan t»erupakatt’daeca4 yang ssngat luas dan meoii I ki pemandaoaan yang :angst indah. Dan juga meruparan tempat yang medarik :ekali. Namun j istru Oag Tiong Yang melakukan perjalanao ddngad aepat. Ia bermaksud pergi ke Bie San, untuk maoemui scorang sababat guru2nya.
Setelah nielakutan perjalan hampir dua pu lab ‘harl, akhirnya dn~- Tiong Yaog tioa digunuflg tersebut, ia sampai dikati guoung sebe• lah barat. Sage-ra juga Ong Tiong Yang men. daki gunung tec:ebut.
Namun setelab man-carU ke:aoa: temari; ia, tidak berhawl menemui tempat kediamao se•’ orang -sahabat daci gurn2Dya.i. Dan juga Ong Tiong Yang mernang tidak mengetahift jelas tom pat unggalnya daci,:ahabat gurnlnya icu.
Akhirnya Ong Tiong Yang kemoali tutun gunung dan meninggalkan Bie San. la menuju icearalt Selatan terus.
Setetah melakukan perjalanan hampir sepuluh hari, akhirnya ia tiba disebuah kampung yang cukup besar, padat sekali penduduknya, sehingga kampung itu seperti juga sebuah kota kecil. Sedangkan ditempat tersebut juga banyak sekali kedai teh dan tempat menginap.
Ong Tiong Yang mencari sebuah rumah penginapan yang tidak begitu besar, dan mengambil sebuah kamar yang terletak diatas loteng, tingkat kedua.
Memang Ong Tiong Yang juga tidak memiliki tujuan yang tetap, ia mengembara hanya untuk melakukan perjalanan kemana saja dia dibawa oleh kedua kakinya, karena memang yang terpenting buat OngTiong Yang ia bisa melakukan perbuatan mulia guna menolongi orang2 yang tengah dalam kesulitan.
Disaat itu, dikala Ong Tiong Yang tengdh berdiam didalam kamarnya, seorang pelayan telah masuk kedalam kamarnya mempersiapkan air untuk mencuci muka dan air teh untuk tojin ini, tetapi setelah meletakkan semua itu, pelayan tersebut tidak segera berlalu. Ong Tiong Yang memandang heran, dilihatnya pelayan, itu berdiri tegak dengan kedua tangannya diturunukan.
Apa yang kau inginkan lagi ?” tanya Ong Tiong Yang kemudian.
„Tidak ada., Totiang….. hanya Siauwjin ingin menyampaikan sepucuk surat kepada Totiang!”
„Surat?” tanya Ong Tiong Yang heran. Surat apa?”
„Entahlah, Siauwjin hanya menerima titipan dari seorang gadis……!” saahut pelayan itu:
„Mana surat itu?” tanya Ong Tiong Yang.
Pelayan itu menghampiri Ong Tiong Yang dan memberikan surat yang dimintanya itu.
Sedangkankan Ong Tiong Yang begitu menerima surat tersebut segera membacanya.
„Ong Tiong Yang Totiang, sesungguhnya Siauwmoay ingin menyampaikan sesuatu kepada Totiang, jika memang Totiang tidak keberatan, bisakah menemui Siauwmoay tiga belas lie dari pintu kampung sebelah timur, dipinggir sebuah telaga pada jam dua malam ini…..?! Dan surat itu ditanda tangani, dengan nama Ong Kiet Mie.
Ong Tiong Yang jadi mengerutkan alisnya ia tidak kenal nama itu.
Namun akhirnya ia menduga apakah Ong Kiet Mie ini bukannya nona Ong yang menjadi puterinya Ong Mei Tu?
Karena berpikir begitu, Ong Tiong Yang melihat surat tersebut kemudian menghadiahkian sipelayan satu tail.
la pun menanyakan perihat diri gadis .-yang. – mengirimkan surat itu. dimana setelah memperoleh keterangan sipelayan, Ong Tiong. Yang yakin bahwa gadis itu memang Ong
Kiet Mei, puterinya Ong Mei Tu.
Diam2 Ong Tiong Yang jadi heran, ia tidak mengerti mengapa sigadis membuntuti dirinya. Bukankah gadis itu telah pergi bersama ayahnya?
Sampai pelayan itu telah keluar dari kamarnya, Ong Tiong Yang masih berpikir keras mengenai keadaan gadis itu. la benar2 tidak mengerti karena jika dilihat gadis itu bisa mengetahui dia berada dikampung ini, tentunya gadis tersebut telah membuntutinya. Hanya herannya apakah maksud gadis tersebut memintanya untuk menemuinya malam ini ditepi telaga yang terdapat diluar kampung tersebut? Dan mengapa gadis tersebut bukan langsung menemuinya saja dan mempergunakan perantara sepucuk surat.
Semua itu merupakan tanda tanya buat, Ong Tiong Yang dan iapun tidak mengerti mengapa nona Ong itu melakukan segalanya seperti mengandung rahasia. Bahkan didalam suratnya itu dia tidak menjelaskan keperluan Ong Tiong Yang menemuinya. Sedangkan Ong Tiong Yang hanya menduga sigadis she Ong itu tentunya tengah mengalami ancaman bahaya yang tidak kecil, sehinga ia membutuhkan pertolongan dari dirinya.
Sore itu Ong Tiong Yang tidur sejenak, untuk memulihkan kesegaran tubuhnya. Dan malamnya ia menantikan sampai menjelang kentongan kedua, ia telah keluar dari kamarnya lewat jendela dan ber-lari2 menuju kelar kampung itu, untuk mencapai tempat yang dijanjikan oleh sigadis.
Sedangkan waktu itu rembulan bersinar penuh, udara juga sejuk sekali. Dengan mempergunakan ginkangnya yang tinggi, Ong Tiong Yang telah tiba ditempat yang dijanjikan oleh sigadis she Og itu, dimana dia telah tiba ditepi sebuah telaga.
Sebelum mencapai tepi telaga itu, dari kejauhan ia melihat sesosok tubuh seorang gadis, yang tengah berdiri membalakanginya.
,,Nana Ong !” panggil Ong Tiong Yang.
Sosok tubuh itu membalikkan tubuhnya dpn melihat Ong Tiong Yang dengan sinar mata yang bersinar terang menunjukkan kegembiraanya. Ia ternyata tidak lain dari sinona she Ong, puterinya Ong Mie Tu.
„Ong Totiang, ternyata engkau datang juga memenuhi undangan Siauwmoay…!” kata sigadis.
Ong Tiong Yang mengerutkan alinya, karena ia melihat sigadis tidak kurang suatu apa pun juga.
„Apakah nona tengah menghadapi ancaman bahaya?”
„Tidak ……. aku hanya ingin bertemu denganmu saja, Ong Totiang ….., hampir satu tahun selalu aku mengikuti dirimu, dan kukira hal itu tidak perlu terlalu lama lagi, aku harus menemui totiang, untuk menjelaskan sesuatu …….”
„Menjelaskan sesuatu apa yang nona maksudkan? tanya Ong Tiong Yang.
„Sesungguhnya …….., hatiku…..!” dan si gadis tidak bisa meneruskan perkataannya lagi, karena wajahnya berobah merah.
„Mengapa hatimu, nona Ong?” tanya Ong Tiong Yang.
„Sesungguhnya aku …… aku tertarik sekali padamu” jawab si gadis kenudian.
Muka Ong Tiong Yang jadi berobah merah karena jengah, ia berkata cepat2 dengas sikap yang gugup: „Ini … ini mana bisa terjadi?”
Sigadis telah berkata dengan sikap yang agak gugup: „Tidak perlu Ong Totiang kaget…… aku meyukai Totiang dan jika memang di ijinkan oeh Totiang agar aku selamanya berada dekat denganmu, hatiku telah puas……..!”
Muka Ong Tiong Yang, jadi berobah semakin merah, Ia berkata „Ini …… ini tidak bisa, nona Ong, bagaimana kata orang nanti ……?”
Si gadis mengawasi Ong Tiong Yang sejenak lamanya, akhirnya ia menunduk dengan wajah yang muram: „Akhhh….., apakah Totiang tidak merasa kasihan jika aku harus mengembara seorang diri ?”
Ditanya begitu, Ong Tiong Yang terdiam sejenak lamanya, sampai akhirnya ia menghela napas.
„Mengapa nona tidak mengembara bersama ayah nona ?” tanyanya.
„Ayah telah pergi kesuatu tempat untuk hidup tenang, Siauwmoay bermaksud untuk berkelana seorang diri mencari pengalaman …….. jika memang Ong Totiang tidak keberatan, Siauwmoay bermaksud mengembara bersama Totiang…….!”
„Cepat2 Ong Tiong Yang merangkapkan kedua tangannya, ia memberi hormat ……”
„Maafkanlah nona Ong, bukankah Pinto keberatan mengembara bersamamu, tetapi sebagai seorang pendeta, Pinto tidak leluasa untuk berjalan berdua dengan seorang gadis seperti kau: maafkanlah …… maafkanlah…..!” Ong Tiong Yang memperlihatkan perasaan menyesalnya.
Sigadis jadi tambah murung. Dan akhirnya ia berkata: „Baiklah, jika memang Ong Totiang merasa malu untuk berkelana ber-sama2 dengan Siauwmoay juga, maka Siauwmoay juga tidak memaksanya …. dan juga, dalam hal ini, harap Totiang tidak berkeberatan jika Siauwmoay selalu mengikutimu….. !”
Ong Tiong Yang menghela napas dalam2.
„Mengapa nona harus mengambil keputusan seperti itu?” tanyanya.
„Jika memang Totiang merasa keberatan untuk berjalan bersama dengan Siauwmoay, biarlah Siauwmoay cukup hanya mengikuti Totiang kemana saja pergi, kesana aku akan pergi ….!” dan gadis tersebut sudah tidak bisa menahan air matanya yang hampir mengalir keluar, ia cepat2 memutar tubuhnya berlari meninggalkan tempat itu.
Ong Tiong Yang terkejut, ia me-manggil2 : „Nona Ong…, nona Ong…!” tetapi sigadis tidak memperdulikannya dan terus juga berlari dengan cepat, Ong Tiong Yang jadi berdiri tertegun, sampai akhirnya ia menghela napas.
„Sayang sekali nona Ong itu salah …..” menggumam Ong Tiong Yang dengan suara terharu.
Setelah itu Ong Tiong Yang kembali kerumah penginapannya. Dan keesokan paginya ia melanjutkan perjalanannya. Namun setiap kali ia menoleh kebelakang, terpisah puluhan tombak jauhnya, tampak Ong Kiet Mie mengikuti dia.
Beberapa kali Ong Tiong Yang memutar tubuhnya untuk menghampiri sigadis, tetapi acap kali begitu Ong Tiong Yang memutar tubuh, sigadis telah berlari cepat meninggalkannya.
Tetapi selalu gadis itu mengikutinya pula.
Waktu sampai dikota Lun An, gadis itu masih tetap mengikuti Ong Tiong Yang. Hanya, setiap kali Ong Tiong Yang bermalam disebuah rumah penginapan, maka gadis itu mengambil rumah penginapan lainnya. Terus juga ia membayangi Ong Tiong Yang.
Pendeta ini jadi tidak enak dihati, dimana ia merasa kasihan juga pada sigadis. Sesungguh nya Ong Tiong Yang bersedia menganggap si gadis sebagai saudaranya, tidak lebih dari itu. Tetapi justru gadis tersebut memiliki hati yang aneh.
Waktu keesokan harinya Ong Tiong Yang melanjutkan perjalanannya, sigadis she Ong itu juga telah menguntit membuntutinya sambil bernyanyi dengan suara yang mengandung kedukaan.
Samar-samar Ong Tiong Yang mendengar nyanyian sigadis, hatinya jadi tergetar.
Burung seriti terbang melayang diawan,
Hanya seorang diri,
Dan juga dalam keadaan yang menyedihkan
Bulunya lepas satu-satu.
Bagaikan hatinya yang mulai berkeping,
Wahai angin, mengapa kau tak sampaikan,
Betapa hati yang rindu ini?
Tetapi Ong Tiong Yang tidak berhasil untuk memergoki sigadis untuk mengajaknya bercakap2. Karena setiap kali Ong Tiong Yang memutar tubuh, disaat itu pula sigadis telah melarikan diri.Hanya seorang diri,
Dan juga dalam keadaan yang menyedihkan
Bulunya lepas satu-satu.
Bagaikan hatinya yang mulai berkeping,
Wahai angin, mengapa kau tak sampaikan,
Betapa hati yang rindu ini?
Akhirnya Ong Tiong Yang sudah tidak berusaha untuk memburu gadis itu, ia melakukan perjalanan tanpa memperdulikan sigadis yang selalu mengikutinya.
Selama dua bunan lebih Ong Tiong Yang selalu dibayangi gadis itu.
Suatu hari, Ong Tiong Yang singgah di kedai teh, ia meneguk minumannya per-lahan2 dan duduk diruang dalam. Sigadis juga singgah dikedai teh itu, hanya nona Ong ini duduk diruang depan, sambil mengawasi Ong Tiong Yang dengan sorot mata mengandung kedukaan.
Ong Tiong Yang sesungguhnya bermaksud berdiri dan menghampiri sigadis, namun ia kuatir sinona Ong akan lari pula. Maka ia tetap duduk ditempatnva, mengangguk sambil melontarkan senyumnya.
Gadis itu membuang muka kearah lain.
—oo0oo—
(Bersambung ke bagian 60)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar