Kamis, 13 Juni 2013

5 Jagoan Luar Biasa ( BAGIAN 60 )


TETAPI, waktu itu, dari luar pintu kedai teh itu melangkah masuk seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar, yang menghampiri kearah meja sigadis. Ketika melihat nona Ong, mata orang itu berkilat tajam.
„Oho, nona yang manis .. nona cantik!” katanya dengan suara yang serak dan dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras.
Ong Tiong Yang jadi memandang ragu2 penuh kekuatiran pada keselamatan gadis tersebut, karena orang bertubuh tinggi besar itu menghampiri sigadis sambil mangulurkan tangannya mencolek muka nona Ong.


Perbuatan kurang ajar orang tersebut membuat nona Ong jadi naik darah, ia gerakkan tangannya mengebut dengan keras.
Tubuh lelaki itu memang tinggi besar, tetapi dikebut seperti itu tubuhnya seperti layangan putus dan telah terbanting jatuh dilantai.
Sedangkan nona Ong berkata sengit: „Sekali lagi engkau membawa tingkah tengik, biar aku akan turun tangan keras menghayarmu….!”
Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu yang memiliki potongan wajah kasar dan keras, malah bangkit sambil memperlihatkan sikap yang beringas mengandung ancaman.
„Engkau berani bertingkah didepanku?” dan lelaki bertubuh tinggi besar itu menghampiri meja sigadis, ia mengulurkan tangannya memegang tepi meja, yang akan diterbalikkan.
Tetapi sigadis juga cepat meletakkan kedua tangannya dimeja tersebut, sebingga meja itu tidak bergeming walaupun diangkat kuat2 oleh lelaki bertubuh tinggi besar itu. Dengan penasaran lelaki tinggi besar itu mengeluarkan suara teriakan nyaring sambil memusatkan kekuatannya untuk menterbalikkan meja sigadis.
Tetapi rupanya gadis itu telah mempergunakan tenaga sinkangnya menekan meja itu dengan kedua tangannya, sehingga meja itu tidak bergeming dari tempatnya.
Dalam keadaan demikian, lelaki bertubuh tinggi besar itu memandang ter-heran2 dan tertegun, tetapi ia semakin penasaran, ia mengeluarkan suara teriakan sekali lagi dan berusaha untuk menterbalikkan meja itu. Usahanya kembali gagal.
Karena sengit, ia mengambil goloknya yang tersoren dipinggangnya, dicekalnya gagang golok itu kuat2 dan kemudian dicabutnya.
Lalu dengan sikap mengancam dia berkata bengis : „Apakah engkau ingin merasakan tajam nya golokku ini…..!”
Nona Ong mana merasa takut? Sambil memperdengarkan suara tertawa tawar, nona Ong berkata dingin: „Janganlah engkau main2 dengan senjata tajam seperti itu, bisa membahayakan dirimu sendiri !”
Sambil berkata demikian, tangan kiri nona Ong meluncur dan menyentil golok lelaki bertubuh tinggi besar tersebut, sehingga golok itu terlepas dari cekalan tangan lelaki dan terpental jatuh kelantai dengan keras.
Muka lelaki bertubuh tinggi besar tersebut jadi pucat, dia memandang pada sigadis dan tidak mengerti.
Nona Ong berkata tawar : „Kau pergilah…, atau memang perlu dihajar lagi?
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tampaknya penasaran, tanpa menyahut ia mengambil goloknya, dan tahu2 ia menggerakkan cepat sekali membacok kepada sigadis.
Tetapi nona Ong tidak terkejut atau gugup, ia memang menduga lelaki bertubuh tinggi besar tersebut tentunya akan berusaha melakukan hal itu.
la mengelakkan bacokan tersebut dengan tubuh yang dimiringkan.
Dan waktu mata golok lewat disamping tubuhnya cepat sekali, tangan kanannya nona Ong digerakkan, dengan kedua jari tangannya ia menjepit golok itu sehingga ketika lelaki bertubuh tinggi besar itu menarik pulang goloknya, ia tidak berdaya apa2, golok tersebut telah terjepit terus tanpa bisa bergeming, walaupun lelaki bertubuh tinggi besar itu memusatkan seluruh tenaga yang ada padanya. “
Waktu itu nona Oug berkata tawar: „Jika memang engkau memiliki tenaga yang besar, tariklah golokmu….. !”
Tetapi memang usaha lelaki bertubuh tinggi besar itu gagal sama sekali, karena ia tidak pernah berbasil menarik pulang goloknya yang di jepit keras dan kuat oleh kedua jari tangan sigadis.
„Dan ketika suatu kali lelaki bertubuh tinggi besar itu menarik pula dengan kuat, tiba2 gadis she Ong tersebut melepaskan jepitan jari tangannya, tidak ampun lagi tubuh lelaki tinggi besar itu terguling dilantai dengan menimbulkan suara gedebukan yang keras.
Lelaki bertubuh tinggi besar tersebut berusaha bangun wajahnya pucat.
„Pergilah kau….” kata nona Ong dengan suara tidak acuh dan mengambil cawan tehnya untuk meminumnya. “
Ong Tiong Yang ketika menyaksikan hal itu, hanya tersenyum saja.
Nona Ong setelah meneguk habis air tehnya ia bangkit untuk melangkah keluar, meninggal lelaki bertubuh tinggi besar yang berdiri tertegun diam ditempatnya dengan keadaan bingung karena ia hampir tidak mempercayainya seorang gadis begitu muda dan tampaknya lemah gemulai selain cantik, bisa meruntuhkan dia berulang kali. Padahal dikota ini dia merupakan buaya darat yang paling disegani dan ditakuti oleh penduduk kota.
Keadaan seperti ini membuat Ong Tiong Yang jadi tertawa dan telah menghampiri lelaki tinggi besar tersebut yang ditepuk pundak kanannya: „Jika lain waktu, hati2 kalau ingin berbuat kurang ajar …..!”
Lelaki bertubuh tinggi besar itu menoleh terkejut, tetapi matanya jadi bersinar tajam mengandung kemarahan waktu melihat yang menepuknya itu adalah seorang tojin muda.
„Tojin bau, apa maksudmu mencampuri urusanku….?” dan sambil berkata begitu, ia mengerahkan tenaganya pada tangan kanannya untuk mengangkat goloknya guna, mengancam Ong Tiong Yang.
Namun lelaki bertubuh tinggi besar itu jadi kaget sendirinya, karena seluruh tenaganya seperti telah lenyap dari tubuhnya, dimana ia merasakan seluruh kekuatan dibadannya bagaikan lenyap.
Cepat-cepat ia mengeluarkan suara bentakkan yang gugup: „Kau… kau … kau mempergunakan ilmu siluman apa sehingga tenagaku lenyap ….?” tanyanya.
Ong Tiong yang mengangkat tangannya dari pundak orang itu, sambil katanya diiringi senyumnya. „Lain kali jangan galak2 seperti itu, jika Pinto mau mencelakaimu, mudah sekali seperti juga membalik telapak tangan…!”
Lalaki bertubuh tioggi besar itu mengetahui dan menyadarinya, bahwa hari ini ia dua kali bertemu dengan orang2 gagah. Per-tama2 ia bertemu dengan sigadis yang tampaknya lemah gemulai tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa. Kedua kalinya adalah tojin muda usia ini, yang barhasil membuat ia tidak memiliki tenaga sama sekali disaat telapak tangan Tojin tersebut berada dipundaknya. Maka tanpa mengucapkan perkataan dan apalagi, ia telah mementang kakinya ngacir keluar dari kedai teh tersebut, lenyap mabuknya…!
Melihat orang bertubuh tinggi besar tersebut telah pergi, Ong Tiong Yang kembali ketempat duduknya dan meneruskan minumnya.
Sedangkan pelayan yang melihat Ong Tiong Yang berhasil mengusir buaya darat yang ditakutinya, mengetahui bahwa Tojin ini bukan seorang tojin yang sembarangan, maka ia telah melayaninya dengan manis sekali.
Setelah puas minum teh dan juga perasaan lelahnyu berkurang, Ong Tiong Yang melanjutkan perjalannya.
Ketika berada diluar kota, Ong Tiong Yang menoleh kebelakang.
Ia melihat nona Ong masih tetap mengikutinya. Diam2 tojin tersebut jadi mengeluh juga, disamping perasaan kasihan, ia benar2 tidak mengerti maksud dari nona Ong yang selalu mengikutinya.
Kalau saja ia bisa berbicara dengan nona Ong itu, tentu ia akan menasehati si-gadis.
Tetapi sayangnya gadis tersebut selalu melarikan diri setiap kali Ong Tiong Yang ingin menghampiri.
Sambil berjalan terus, Ong Tiong Yang memutar otak mencari jalan bagaimana harus menasehati gadis itu, agar ia itu mau menghentikan perbuatannya yang selalu mengikutinya. Tetapi justru kesempatan untuk berbicara dengan sigadis tidak pernah diperolehnya.
Ong Tiong Yang berulang kali menghela napas, akhirnya ia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya menghadap kearah sigadis. Nona Ong waktu melihat Ong Tiong Yang berhenti, melangkah, iapun berhenti melangkah, mengawasi kepada Ong Tiong Yang dengan wajah yang mengandung kedukaan, dan ber-siap2 jika memang Ong Tiong Yang hendak menghampirinya, sigadis ingin melarikan diri.
„Non Ong…!” teriak Ong Tiong Yang dengan suara nyaring karena ia berteriak seperti itu dengan mengerahkan tenaga sinkangnya. „Mengapa engkau selalu mengambil sikap seperti itu? katakanlah. „mari kita bicara secara baik-baik….!”
Ong Kiet Mei, sigadis yang sesungguhnya telah bersiap2 hendak melarikan diri, jadi batal dan berdiam ditempatnya ketika mendengar teriakan Ong Tiong Yang. Mukanya juga telah berubah, ia berkata dengan suara yang tak begitu jelas keluar dari mulutnya, sambil tubuhnya meaggigil menahan isak tangis.
Ong Tiong Yang melangkah ingin menghampirinya, dengan mempergunakan ginkangnya.
Namun waktu itu justru Ong Kiet Mei telah memutar tubuhnya dan berlari juga.
Dengan demikian kembali Ong Tiong Yang gagal membujuk gadis itu untuk bicara langsung dengannya.
Melihat gadis itu pergi, Ong Tiong Yang menghela napas panjang penuh penyesalan, kemudian, katanya dengan suara perlahan kepada dirinya sendiri : „Dilihat demikian, tampaknya gadis itu sulit sekali diajak bicara….!”
Ong Tiong Yang kemudian melanjutkan perjalanannya lagi.
Namun setelah melakukan perjalanan, justru diwaktu itu ia, menoleh kebelakang dan melihat si gadis she Ong tersebut telah berada ditempat itu lagi !
Keadaan demikian membvat Ong Tiong Yang menghela napas beberapa kali penuh penyesalan. Kalau saja gadis itu memang mau di ajak bicara secara baik2 tentu hal ini akan dapat diselesaikan.
Mengenai parmintaan sigadis yang hendak melakukan perjalanan bersama dengannya, tentu merupakan urusan yang sulit sekali.
Karena sebagai seorang pendeta, dengan tidak leluasa ia akan berjalan dengan seerang gadis secantik itu, ia kuatir kalau nanti menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Dan juga memang ia telah memikirkan, kalau ia meluluskan permintaan gadis she Ong itu, dengan demikian dirinya akan dilibat terus oleh nona Ong itu.
Dalam keadaan demikian Ong Tiong Yang memang berada pada kedudukan yang sulit, karenat sebagai seorang pendeta yang memiliki sifat welas asih, dengan sendirinya tidak tega la Melihat gadis itu untuk, mengikutinya terus menerus seperti ekonya saja, tetapi untuk meluluskan permintaan gadis itu agar dia diajak berkelana bersama, juga merupakan suatu permintaan yang sulit untuk diluluskan.
Dalam keadaan seperti ini memang merupakan suatu kejadian yang membuat Ong Tiong Yang berada dalam kedudukan yang benar2 sulit dan juga jadi resah, karena pertama tidak bisa memenuhi permintaan dari gadis tersebut, kedua ia merasa kasihan dan tidak tega melihat gadis she Ong tersebut selalu membuntutinya, karena walaupun bagaimana gadis itu adalah seorang nona, yang masih berusia muda sekali, dengan caranya seperti itu, tentu sigadis she Ong tersebut telah mem-buang2 masa remajanya yang seharusaya disertai dengan kegembiraan.
Setelah melakukao perjalanan belasan lie lagi, ia menoleh kebelakang dan melihat bahwa sigadis masih mengikutinya.
Ong Tiong Yang akhirnya habis sabar, dia melihat bahwa waktu itu mereka tengah berada disebuah lapangan rumput yang luas sekali.
Segera Ong Tiong Yang memutar tubuhnysa, tahu2 Ia melompat gesit sekali, mengejar sigadis, gerakan yang dilakukannya begitu tiba2 sekali karena tubuhnya melompat cepat sekali, dan dalam sekejap mata telah lima tombak jauhnya.
Ong Kiet Mei jang tidak menduga Ong Tiong Yang akan melakukan tindakkan seperti itu, jadi terkejut.
la bermaksud mematar tubuhnya untuk melarikan diri.
Namun baru saja ia memutar tubuhnya dan berlari belasan tombak, Ong Tiong Yang telah berada disebelahnya.
Mempergunakan gerakan yang sangat cepat, tampak Ong Tiong Yang menggerakkan kedua tangannya, tahu2 Ia telah mencekal tangan sigadis.
Gerakan yang dilakukannya itu sangat cepat sekali, apalagi memang kepandaian Ong Tiong Yang jauh berada diatas kepandaian gadis ini. Dengan demikian segera terlihat sigadis tidak bergerak dalam cekalan tangan pendeta ini.
„Nona Ong …… dengarlah….. jangan engkau membawa adatmu seperti itu, dengarlah pinto bicara dulu!” kata Ong Tiong Yang.
Ong Kiet Mei berusaha meronta, namun ia tidak bcrhasil melepaskan cekalan dari pendeta tersebut.
„Lepaskan …., lepaskan aku…. teriak Ong Kiet Mei sambil meronta kuat sekali, berbareng dengan itu, ia mengeluarkan tenaganya untuk melepaskan cekalan tangan si pendeta, gerakannya sangat kuat, tetapi Ong Tiong Yang telah mengerahkan tenaganya, dengan demikian gadis tersebut sama sekali tidak bisa meronta dari cekalannya.
Keadaan seperti ini membuat Ong Kiet Mei jadi terisak menangis.
„Lepaskan…. lepaskan aku !” teriaknya diantara isak tangisnya tersebut.
Ong Tiong Yang menghentakkan keras2, katanya kemudian: „Dengarlah nona Ong…. dengarlah…. !” katanya dengan suara yang nyaring. „Aku hendak bicara dulu denganmu….!”
Ong Kiet Mei memandang kepada tojin itu deagan sorot mata yang digenangi air mata, ber kilat2, katanya: „Apa yang hendak kau katakan lagi aku tidak mau ber-cakap2 dengan engkau lagi…. !”
„Mengapa begitu, nona Ong, bukankah kita bersahabat ?” tanya Ong Tiong Yang.
Sigadis meng-geleng2kan kepalanya sambil tetap menangis.
Sedangkan Ong Tiong Yang berusaha membujuk terus : „Dengarlah nona Ong dengarlah, jika memang kita telah ber-cakap2, tentunya urusan ini bisa diselesaikan…. !”
„Hemm….., jika demikian halnya, tentu berarti engkau menerima permintaaaku untuk ikut berkelana bersama kau?” tanya sigadis tiba2 sambil mengawas Ong Tiong Yang, air matanya masih mengucur keluar.
Ong Tiong Yang berusaha tersenyum, sambil katanya: „Jika memang demokian halnya, mari kita bicara secara baik2, tentu nona mau bukan ?”
Sigadis mengangguk perlahan, dan barulah Ong Tiong Yang melepaskan cekalannya.
Sigadis menghapus air matanya, kemudian tersenyum lebar.
„Akhirnya engkau meluluskan juga permintaanku, Totiang.” kata sigadis. Walaupun air matanya, mengucur cukup deras, namun ia bisa tertawa lebar.
Ong Tiong Yang menghela napas, sebetulnya diwaktu itu ia ingin memberi tahukan pada sigadis, bahwa bukan itu maksudnya mengajak sigadis bicara, bukan bermaksud untuk mengajaknya berkelana bersam tetapi justru mulut Ong Tiong Yang seperti terkunci dan tidak bisa ber-kata2.
Sigadis kamudian telah menghapus kering air matanya, ia tertawa sambil kataaya: „Apa kah kita berangkat “sekarang Totiang ?”
Ong Tong Yang mengangguk : „Mari kita berjalan sambil bercakap katanya.”
Sigadispun mengangguk.
Begitulah mereka berjalan berendeng, Ong Tiong Yang bingung juga mencari kata2 pembukaan untuk menjelaskan segala sesuatunya kepada si gadis.
Sedangkan Ong Kiet Mei waktu itu setelah berdiam, diri beberapa saat, berkata dengan suara parau: „Totiang, bukankah kita jika berkelana bersama, urusan ini melanggar aturan?”
Ong Tiong Yang menghela napas.
„Justru persoalan tersebut yang hendak dikatakan olehku …..!” kata Ong Tiong Yang dengan suara perlahan dan bimbang.
„Pinto ingin mengemukan kepada nona, bahwa sesungguhnya bukan Pinto keberatan uncuk berkelana denganmu, nona Ong. . . . namun…..!”
„Kenapa Totiang?” tanya sigadis.
„Karena urusan ini menyangkut nama baik, maka harus nona mengerti dan mau memahami-nya ….. janganlah nona bersikeras mengambil sikap masa bodoh. Kita harus membicarakan persoalan ini perlahan-lahan, dan tentu akan bisa dicari penyelesaiannya ….!”
Tetapi Ong Kiet Mei berkata dengan suara yang tidak sabar: „sesungguhnya, apakah yang benjak dikatakan oleh Totiang?” katanya.
„Justru yang hendak Pinto kemukakan adalah persoalan itu… Pinto ingin memberi tahukan, betapa kedudukan Pinto sebagai seorang pendeta, jelas tidak akan leluasa jika melakukan perjalanan bersama dengan seorang gadis secantik engkau, nona Ong…! Coba engkau pi
kirkan, apakah perkataan Pinto ini salah….?” Sigadis menghela napas,
„Apakah karena Totiang seorang tojin, maka urusan jadi begitu berbelit, sehingga tidak benar jika melakukan perjalanan bersama denganku?” tanya Ong Kiet Mei.
—oo0oo—
(BERSAMBUNG ke Bagian 61)

5 Jagoan Luar Biasa ( BAGIAN 59 )



SELAMA dalam perjalanan mengembara bersama Ang Bian, Ong Tiong Yang banyak menerima petunjuk dari Ang Bian, karena memang Ang Bian jauh lebih berpengalaman dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Ong Tiong Yang.
Karena merasa memiliki sifat yang agak cocok satu dengan yang lainnya, Ang Bian mau memberikan petunjuk-nya kepada Ong Tiong Yang.
Malah setelah mengembara bersama satu bulan lebih, suatu malam Ang Bian telah membuka topeng merahnya memperlihatkan wajahnya kepada Ong Tiong Yang.

Ternyata muka Ang Bian sangat rusak, menurut cerita Ang Bian mukanya bercacad seperti itu karena ia pernah terbakar, dalam suatu kecclakaan pada pertempuran dengan lawannya.
Untuk menutupi cacad pada mukanya, Ang Bian mempergunakan topeng merah itu sebagai topeng.
Ong Tiong Yang juga merasakan, selama ia bersahabat dengan Ang Bian cukup banyak petunjuk berharga yang diterimanya membuat ia semakin mengerti latihan sinkang yang lebih tinggi. Disamping itu, Ang Bian juga memberikan ketera ngan kepada Ong Tiong Yang untuk menutupi kelemahan2 yang dimiliki tojin muda tersebut. Karena keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Ang Bian, kemajuan yang diperoleh Ong Tiong Yang kian pesat.
Ang Bian telah memberitahukan juga bahwa nama yang sebenarnya adalah Cie Tuk Sie dan karena ia selelu mengenakan topeng merah, selalu orang, memanggil dengan sebutan Ang Bian.
Sedangkan Aug Bian sendiri menyatakan sangat kagum pada Ong Tiong Yang, walaupun tojin tersebut masih berusia muda belia, kenya taannya ia begitu bijaksara dan memiliki pemikiran yang luas.
„Kalau saja engkau bisa berlatih diri dengan tekun dan memperoleh petunjuk yang lebih jauh dari orang sakti, tentu engkau kelak akan menjadi soorang jago yang sulit dicari tandingannya….!” puji Ang Bian alias Cie Tiok Sie, dan kulihat sinkang yang engkau miliki itu merupakan sinkang lurus dan bersih., maka semakin liehay saja, sehingga tidak mudah orang akan menandingi dirimu…..!”
„Ong Tiong Yang justru merendahkan diri dan menanyakan dimana saja kelemahan2-nya.
Ang Bian memberitahukan bagian2 yang lemah dan lowongan pada diri Ong Tiong Yang, sampai akhirnya dia bisa menjelaskan juga latihan2 yang bisa mengangkat tenaga Tan Tiau tenaga murni dari jantung untuk disalurkan membuka nadi.
Memperoleh petunjuk seperti itu, Ong Tiong Yang girang sekaii. Dan memang akhir2 ini ke majuan yang di capai Ong Tiong Yang tidak sedikit.
Hampir setengah tahun mereka mengembara ber-sama2 dan selama itu Ong Tiong Yang juga senang sekali melakukan perjalanan bersama dengan Ang Bian Cie Tiok Sie. Tetapi suatu sore Cie Tiok Sie telah berkata bahwa ia tahun ini berusia tujuh puluh tahun dan bermaksud hendak mengundurkan diri dengan hidup mengasingkan diri disebuah tempat yang tenang dan sunyi. Maka ia ingin berpisah dengan Ong Tiong Yang.
Walaupun perpisahan itu terasa cukup berat, namun Ong Tiong Yang akhirnaya harus berpisah dengan Ang Bian. Mereka masirg2 telah megaanbil jalan sendiri2. Ong Tiong Yang menuju keselatan. sedangkan Ang Bian mengambil aral, utara….
Sejak seat itu Ong Tiong Yang me’akui an pcrjalauan uutuk me4gair.a.kan kepandalannva.
Sambil m^lakukln psrjalanan, sztiap Yda. keR aampatan, Ong Tiong Yang selalu melati6 diri dsigan giat, sohingga la memperaleh kemajuda’ yaoiz pesat sekali. Dan di-saat2 seperti itu, Ong Tiong. Yang telah bisa “meecapai k.emajuao dua ctngkai pads tenaga s:okangnyat .
Waktu itu, sesuogguhnya didaera6 Selatan t»erupakatt’daeca4 yang ssngat luas dan meoii I ki pemandaoaan yang :angst indah. Dan juga meruparan tempat yang medarik :ekali. Namun j istru Oag Tiong Yang melakukan perjalanao ddngad aepat. Ia bermaksud pergi ke Bie San, untuk maoemui scorang sababat guru2nya.
Setelah nielakutan perjalan hampir dua pu lab ‘harl, akhirnya dn~- Tiong Yaog tioa digunuflg tersebut, ia sampai dikati guoung sebe• lah barat. Sage-ra juga Ong Tiong Yang men. daki gunung tec:ebut.
Namun setelab man-carU ke:aoa: temari; ia, tidak berhawl menemui tempat kediamao se•’ orang -sahabat daci gurn2Dya.i. Dan juga Ong Tiong Yang mernang tidak mengetahift jelas tom pat unggalnya daci,:ahabat gurnlnya icu.
Akhirnya Ong Tiong Yang kemoali tutun gunung dan meninggalkan Bie San. la menuju icearalt Selatan terus.
Setetah melakukan perjalanan hampir sepuluh hari, akhirnya ia tiba disebuah kampung yang cukup besar, padat sekali penduduknya, sehingga kampung itu seperti juga sebuah kota kecil. Sedangkan ditempat tersebut juga banyak sekali kedai teh dan tempat menginap.
Ong Tiong Yang mencari sebuah rumah penginapan yang tidak begitu besar, dan mengambil sebuah kamar yang terletak diatas loteng, tingkat kedua.
Memang Ong Tiong Yang juga tidak memiliki tujuan yang tetap, ia mengembara hanya untuk melakukan perjalanan kemana saja dia dibawa oleh kedua kakinya, karena memang yang terpenting buat OngTiong Yang ia bisa melakukan perbuatan mulia guna menolongi orang2 yang tengah dalam kesulitan.
Disaat itu, dikala Ong Tiong Yang tengdh berdiam didalam kamarnya, seorang pelayan telah masuk kedalam kamarnya mempersiapkan air untuk mencuci muka dan air teh untuk tojin ini, tetapi setelah meletakkan semua itu, pelayan tersebut tidak segera berlalu. Ong Tiong Yang memandang heran, dilihatnya pelayan, itu berdiri tegak dengan kedua tangannya diturunukan.
Apa yang kau inginkan lagi ?” tanya Ong Tiong Yang kemudian.
„Tidak ada., Totiang….. hanya Siauwjin ingin menyampaikan sepucuk surat kepada Totiang!”
„Surat?” tanya Ong Tiong Yang heran. Surat apa?”
„Entahlah, Siauwjin hanya menerima titipan dari seorang gadis……!” saahut pelayan itu:
„Mana surat itu?” tanya Ong Tiong Yang.
Pelayan itu menghampiri Ong Tiong Yang dan memberikan surat yang dimintanya itu.
Sedangkankan Ong Tiong Yang begitu menerima surat tersebut segera membacanya.
„Ong Tiong Yang Totiang, sesungguhnya Siauwmoay ingin menyampaikan sesuatu kepada Totiang, jika memang Totiang tidak keberatan, bisakah menemui Siauwmoay tiga belas lie dari pintu kampung sebelah timur, dipinggir sebuah telaga pada jam dua malam ini…..?! Dan surat itu ditanda tangani, dengan nama Ong Kiet Mie.
Ong Tiong Yang jadi mengerutkan alisnya ia tidak kenal nama itu.
Namun akhirnya ia menduga apakah Ong Kiet Mie ini bukannya nona Ong yang menjadi puterinya Ong Mei Tu?
Karena berpikir begitu, Ong Tiong Yang melihat surat tersebut kemudian menghadiahkian sipelayan satu tail.
la pun menanyakan perihat diri gadis .-yang. – mengirimkan surat itu. dimana setelah memperoleh keterangan sipelayan, Ong Tiong. Yang yakin bahwa gadis itu memang Ong
Kiet Mei, puterinya Ong Mei Tu.
Diam2 Ong Tiong Yang jadi heran, ia tidak mengerti mengapa sigadis membuntuti dirinya. Bukankah gadis itu telah pergi bersama ayahnya?
Sampai pelayan itu telah keluar dari kamarnya, Ong Tiong Yang masih berpikir keras mengenai keadaan gadis itu. la benar2 tidak mengerti karena jika dilihat gadis itu bisa mengetahui dia berada dikampung ini, tentunya gadis tersebut telah membuntutinya. Hanya herannya apakah maksud gadis tersebut memintanya untuk menemuinya malam ini ditepi telaga yang terdapat diluar kampung tersebut? Dan mengapa gadis tersebut bukan langsung menemuinya saja dan mempergunakan perantara sepucuk surat.
Semua itu merupakan tanda tanya buat, Ong Tiong Yang dan iapun tidak mengerti mengapa nona Ong itu melakukan segalanya seperti mengandung rahasia. Bahkan didalam suratnya itu dia tidak menjelaskan keperluan Ong Tiong Yang menemuinya. Sedangkan Ong Tiong Yang hanya menduga sigadis she Ong itu tentunya tengah mengalami ancaman bahaya yang tidak kecil, sehinga ia membutuhkan pertolongan dari dirinya.
Sore itu Ong Tiong Yang tidur sejenak, untuk memulihkan kesegaran tubuhnya. Dan malamnya ia menantikan sampai menjelang kentongan kedua, ia telah keluar dari kamarnya lewat jendela dan ber-lari2 menuju kelar kampung itu, untuk mencapai tempat yang dijanjikan oleh sigadis.
Sedangkan waktu itu rembulan bersinar penuh, udara juga sejuk sekali. Dengan mempergunakan ginkangnya yang tinggi, Ong Tiong Yang telah tiba ditempat yang dijanjikan oleh sigadis she Og itu, dimana dia telah tiba ditepi sebuah telaga.
Sebelum mencapai tepi telaga itu, dari kejauhan ia melihat sesosok tubuh seorang gadis, yang tengah berdiri membalakanginya.
,,Nana Ong !” panggil Ong Tiong Yang.
Sosok tubuh itu membalikkan tubuhnya dpn melihat Ong Tiong Yang dengan sinar mata yang bersinar terang menunjukkan kegembiraanya. Ia ternyata tidak lain dari sinona she Ong, puterinya Ong Mie Tu.
„Ong Totiang, ternyata engkau datang juga memenuhi undangan Siauwmoay…!” kata sigadis.
Ong Tiong Yang mengerutkan alinya, karena ia melihat sigadis tidak kurang suatu apa pun juga.
„Apakah nona tengah menghadapi ancaman bahaya?”
„Tidak ……. aku hanya ingin bertemu denganmu saja, Ong Totiang ….., hampir satu tahun selalu aku mengikuti dirimu, dan kukira hal itu tidak perlu terlalu lama lagi, aku harus menemui totiang, untuk menjelaskan sesuatu …….”
„Menjelaskan sesuatu apa yang nona maksudkan? tanya Ong Tiong Yang.
„Sesungguhnya …….., hatiku…..!” dan si gadis tidak bisa meneruskan perkataannya lagi, karena wajahnya berobah merah.
„Mengapa hatimu, nona Ong?” tanya Ong Tiong Yang.
„Sesungguhnya aku …… aku tertarik sekali padamu” jawab si gadis kenudian.
Muka Ong Tiong Yang jadi berobah merah karena jengah, ia berkata cepat2 dengas sikap yang gugup: „Ini … ini mana bisa terjadi?”
Sigadis telah berkata dengan sikap yang agak gugup: „Tidak perlu Ong Totiang kaget…… aku meyukai Totiang dan jika memang di ijinkan oeh Totiang agar aku selamanya berada dekat denganmu, hatiku telah puas……..!”
Muka Ong Tiong Yang, jadi berobah semakin merah, Ia berkata „Ini …… ini tidak bisa, nona Ong, bagaimana kata orang nanti ……?”
Si gadis mengawasi Ong Tiong Yang sejenak lamanya, akhirnya ia menunduk dengan wajah yang muram: „Akhhh….., apakah Totiang tidak merasa kasihan jika aku harus mengembara seorang diri ?”
Ditanya begitu, Ong Tiong Yang terdiam sejenak lamanya, sampai akhirnya ia menghela napas.
„Mengapa nona tidak mengembara bersama ayah nona ?” tanyanya.
„Ayah telah pergi kesuatu tempat untuk hidup tenang, Siauwmoay bermaksud untuk berkelana seorang diri mencari pengalaman …….. jika memang Ong Totiang tidak keberatan, Siauwmoay bermaksud mengembara bersama Totiang…….!”
„Cepat2 Ong Tiong Yang merangkapkan kedua tangannya, ia memberi hormat ……”
„Maafkanlah nona Ong, bukankah Pinto keberatan mengembara bersamamu, tetapi sebagai seorang pendeta, Pinto tidak leluasa untuk berjalan berdua dengan seorang gadis seperti kau: maafkanlah …… maafkanlah…..!” Ong Tiong Yang memperlihatkan perasaan menyesalnya.
Sigadis jadi tambah murung. Dan akhirnya ia berkata: „Baiklah, jika memang Ong Totiang merasa malu untuk berkelana ber-sama2 dengan Siauwmoay juga, maka Siauwmoay juga tidak memaksanya …. dan juga, dalam hal ini, harap Totiang tidak berkeberatan jika Siauwmoay selalu mengikutimu….. !”
Ong Tiong Yang menghela napas dalam2.
„Mengapa nona harus mengambil keputusan seperti itu?” tanyanya.
„Jika memang Totiang merasa keberatan untuk berjalan bersama dengan Siauwmoay, biarlah Siauwmoay cukup hanya mengikuti Totiang kemana saja pergi, kesana aku akan pergi ….!” dan gadis tersebut sudah tidak bisa menahan air matanya yang hampir mengalir keluar, ia cepat2 memutar tubuhnya berlari meninggalkan tempat itu.
Ong Tiong Yang terkejut, ia me-manggil2 : „Nona Ong…, nona Ong…!” tetapi sigadis tidak memperdulikannya dan terus juga berlari dengan cepat, Ong Tiong Yang jadi berdiri tertegun, sampai akhirnya ia menghela napas.
„Sayang sekali nona Ong itu salah …..” menggumam Ong Tiong Yang dengan suara terharu.
Setelah itu Ong Tiong Yang kembali kerumah penginapannya. Dan keesokan paginya ia melanjutkan perjalanannya. Namun setiap kali ia menoleh kebelakang, terpisah puluhan tombak jauhnya, tampak Ong Kiet Mie mengikuti dia.
Beberapa kali Ong Tiong Yang memutar tubuhnya untuk menghampiri sigadis, tetapi acap kali begitu Ong Tiong Yang memutar tubuh, sigadis telah berlari cepat meninggalkannya.
Tetapi selalu gadis itu mengikutinya pula.
Waktu sampai dikota Lun An, gadis itu masih tetap mengikuti Ong Tiong Yang. Hanya, setiap kali Ong Tiong Yang bermalam disebuah rumah penginapan, maka gadis itu mengambil rumah penginapan lainnya. Terus juga ia membayangi Ong Tiong Yang.
Pendeta ini jadi tidak enak dihati, dimana ia merasa kasihan juga pada sigadis. Sesungguh nya Ong Tiong Yang bersedia menganggap si gadis sebagai saudaranya, tidak lebih dari itu. Tetapi justru gadis tersebut memiliki hati yang aneh.
Waktu keesokan harinya Ong Tiong Yang melanjutkan perjalanannya, sigadis she Ong itu juga telah menguntit membuntutinya sambil bernyanyi dengan suara yang mengandung kedukaan.
Samar-samar Ong Tiong Yang mendengar nyanyian sigadis, hatinya jadi tergetar.
Burung seriti terbang melayang diawan,
Hanya seorang diri,
Dan juga dalam keadaan yang menyedihkan
Bulunya lepas satu-satu.
Bagaikan hatinya yang mulai berkeping,
Wahai angin, mengapa kau tak sampaikan,
Betapa hati yang rindu ini?
Tetapi Ong Tiong Yang tidak berhasil untuk memergoki sigadis untuk mengajaknya bercakap2. Karena setiap kali Ong Tiong Yang memutar tubuh, disaat itu pula sigadis telah melarikan diri.
Akhirnya Ong Tiong Yang sudah tidak berusaha untuk memburu gadis itu, ia melakukan perjalanan tanpa memperdulikan sigadis yang selalu mengikutinya.
Selama dua bunan lebih Ong Tiong Yang selalu dibayangi gadis itu.
Suatu hari, Ong Tiong Yang singgah di kedai teh, ia meneguk minumannya per-lahan2 dan duduk diruang dalam. Sigadis juga singgah dikedai teh itu, hanya nona Ong ini duduk diruang depan, sambil mengawasi Ong Tiong Yang dengan sorot mata mengandung kedukaan.
Ong Tiong Yang sesungguhnya bermaksud berdiri dan menghampiri sigadis, namun ia kuatir sinona Ong akan lari pula. Maka ia tetap duduk ditempatnva, mengangguk sambil melontarkan senyumnya.
Gadis itu membuang muka kearah lain.
—oo0oo—

(Bersambung ke bagian 60)

5 Jagoan Luar Biasa ( BAGIAN 58 )



ANG BIAN sendiri tidak tinggat diam, karena dengan mempergunakan kipasnya yang memiliki bentuk begitu aneh, ia melancarkan totokan dan kibasan yang cepat dan mengerikan kearah laher lawannya. Jika sampai kibasan kipas aneh tersebut mengenai sasarannya, niscaya akan membuat korbannya berlumuran darah pada lebernya.
It Han beberapa kali mengeluarkan perintah nya yang beruntun, memerintahkan saudara2 seperguruannya mengatur diri. Jurus demi jurus telah dilewatkan dengan cepat, dan juga waktu itu memang terlibat jelas Ong Tiong Yang memiliki kiamhoat (ilmu pedang) yang meyakinkan, karena ia memang bisa menggunakan pedangnya untuk menyerang dan menangkis terjangan lawannya dengan baik, walaupun didesak dengan gencar.

Sedangkan Ang Bian bertempur dengan mempergunakan cara yang lain dengan Ong Tiong Yang, karena beberapa kali ia berusaha untuk dapat menindih lawannya dengan gerakan yang benar2 agak ganas, dan ilmu kipasnya itu merupakan ilmu yang agak telengas.
Namun It Han dan kesembilan saudara seperguruannya memang memiliki kepandaian yang tinggi, disamping itu mereka juga memiliki kerja sama yang baik dan ketat sekali, sehingga mereka bisa saling tolong satu dengan yang lainnya.
Semakin bertanding, Ang Bian jadi semakin sengit, jurus2 yang dipergunakannya juga merupakaa jurus2 yang mematikan lawannya.
„Tetapi justru Ong Tiong Yang yang mu1ai terdesak, karena It Han, Jie Han, Cit Han dan Kiu Han telah melancarkan desakan yang ber-tubi2 dan rapat sekali kepadanya, mereka rupanya lebih memberatkan diri tojin ini, karena mereka tabu, jika Ong Tiong Yang berhasil mereka rubuhkan, tentu Ang Bian mudah saja dihadapi, karena walaupun kepandaian Ang Bian, lebih tinggi dari Ong Tiong, tokh kepandaiannya itu tidak lebih aneh dari ilmu pedang Ong Tiong Yang, disamping memang Ang Bian juga kurang cerdas seperti Ong Tiong Yang.
Keenam pendeta dari Cap Han tersebut mengepung Ang Bian. Gerakan2 bokkie mereka merupakan gerakan2 mengancam dan memiliki banyak perobahan. Hal ini membuat Ang Bian tidak bisa berlaku lengah.
Nona Ong berulang kali menghela napas, karena ia benar2 menyesal melihat kedua orang penolongnya itu tidak bisa menberantas kesepuluh hweshio itu, atau se-tidak2nya merubuhkan kesepuluh pendeta tersebut.
Disampidg perasaan menyesal dan kecewa, nona Ong juga diliputi kekuatiran, karena ia kuatir kalau2 Ong Tiong Yang dan Ang Bian akan terluka kan ditangan lawan2nya itu.
Pertempnran berlangsung terus, sampai akhirnya It Han berseru dengan suara nyaring. ,,Berhenti, mundur semuanya!”
Jie Han, Sam Han dan lain2nya telah mundur cepat sekali, gerakan mereka gesit, membuka lingkaran jadi, melebar.
It Han telah berkata kepada Ong Tiong Yang. „Baiklah, dengan memandang kepandaian kalian yang tinggi, kami bersedia untuk mengalah dengan merobah sedikit keputusan kami! Nona Ong itu bersedia kami berikan kesempatan untuk bertemu dengan ayahnya, tetapi dengan syarat bahwa ia harus berusaha sedapat mungkin membujuk ayahnya, agar dapat membuat ayahnya itu mengerti dan mengembalikan pusaka kami yang telah diambilnya.”
Girang sekali Ong Tiong Yang, cepat2 dimasukkan pedangnya kedalam sarungnya, ia merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat.
„Terima kasih….terima kasih atas pengertian Tai su ….!” dan setelah berkata begitu. Ong Tiong Yang menoleh kepada nona Ong sambil katanya: „Nona Ong, kau telah mendengar sendiri, kau diijinkan bertemu dengan ayahmu, tetapi engkau harus mempergunakan kesempatan ini sebaik mungkin dengan membujuk ayahmu mengembalikan, barang milik para Tai su tersebut, jika memang benar2 ayahmu itu telah mengambilnya….!”
Sigadis yang tengah girang juga mengangguk cepat sambil katanya : „Baik, baik….Siauw moay tentu akan memperhatikan pesan Totiang “
It Han menoleh kepada Sam Han dan Liok Han, katanya dengan suaranya yang sabar : „Antarkan nona Ong pergi menemui ayahnya, jika memang Ong Mie Tu bersedia mengembalikan barang kita, bebaskan dia……tetapi jika memang Ong Mie Tu tetap berkeras tidak mau mengembalikan putaka kita itu, nona Ong harus segera dibawa keluar pula…..!”
Sam Han dan Liok Han mengiyakan, mereka segera mengantarkan sigadis she Ong itu wasuk kedalam kuil. Sedangkan Ong Tiong Yang dan Ang Bian menantikan dengan hati agak berdebar. Karena disinilah penentuan dibebaskan atau tidaknya Ong Mie Tu.
Waktu itu, tampak it Han berusaha ber-calap2 dengan Ong Tiong Yang, beberapa kali ia bertanya ini dan itu mengenai perkembangan didunia persilatain. Sedangkan Ang Bian lebih banyak berdiam diri, karena memang It Han dan Cap Lo Sian Han lainnya tampak nya segan mengajak Ang Bian untuk bercakap-cakap, karena rupanya mereka, memang lebih menghormati 0ng Tiong Yang, yang dianggapnya bijaksana dan memiliki pemikiran yang jauh.
Disaat itu, dari dalam tampak keluar sigadis she Ong dibawa oleh Sam Han dan Liok Han. Wajahnya berseri-seri dan dia berkata kepada Ang Bian :„Ang Bian Lopeh ayah telah dibebaskan…..!”
Ang Bian dan Ong Tiong Yang. menyambut hal itu dengan gembira. karena mereka melihat perkembangan yang baik untuk urusan ini.
Sam Han dan Liok Han telah menghampiri It Han dan memberikan laporannya.
„Sesungguhnya memang Ong Mie Tu mengatakan ia benar2 mengambil pusaka kita, dan ia pua dengan memandang muka puterinya, bersedia mengembalikan barang itu kepada kita, hanya sayangnya barang itu tidak berada ditubuh-nya. maka ia meminta kesempatan untuk membebaskan guna mengambil barang itu !”
It Han tersenyum, dia bilang: „8agus ! Dengan maksud baiknya ingin mengembalikan barang kita yang telah diambilnya itu, berarti Ong Mie Tu akan memperoleh kebebasannya, tetapi sayang sekali, permintaannya itu tidak bisa kami penuhi, ia hanya boleh menyebutkan dimana pusaka kami itu disimpannya, dan biar kami yang mengambilnya, setelah terbukti kebenaran perkataannya, kami tidak akan ingkar janji dan akan mengembalikan kebebasan dirinya …..! “
Ong Tiong Yang dan Ang Bian menganggap perkataan itu memang ada benarnya juga dan pantas. Maka mereka mengangguk.
,,Hanya sulit-nya,” kata Sam Han. Justru ia tidak mau menyebutkan tempat dimana ia menyimpan barang itu, karena ia beranggapan hanya dia yang patut pergi mengambil barang itu, sebab Ong Mie Tu tidak bisa mempercayai kita, dimana ia tidak bisa mempercayai sepenuhnya janji kita, ia kuatir begitu telah memberi tahukan tempat menyimpan barang- tersebut, kita tidak membebaskannya . . .!”
It Han tersenyum.
,,Jika memang demikian adanya, sebagai jaminan tentunya kita harus memperlunak kembali keputusan kita, deegan memberikan ijin ke pada Ang Bian Siecu, agar memberikan pengertian kepadanya!”
Ang Bian girang dengar keputusan It Han, ia mengangguk katanya: „Tepat, jika memang begitu…. mari kita berangkat…..!”
Disaat itu, Ong Tiong Yang merangkapkan tangannya memberi hormat, sambil katanya: „Terima kasih atas kesediaan Tai su yang telah mengambil keputusan yang bijaksana seperti itu.”
It Han cepat2 membalas hormat Ong Tiong Yang, dia berkata kepada Sam Han, Liok Han dan Cit-Han, agar mengantarkan Ang Bian kedalam kuil, dengan syarat setelah memberikan jaminan kepada Ong Mie Tu dan Ong Mie Tu telah menyebutkan tempat dia menyembunyikan barang yang dicurinya, Ang Bian harus keluar pula.
Begitulah, Ang Bian telah diantar oleh ke tiga orang Cap Lo Sian Han. Mereka memasuki kuil itu tidak lama dan telah kembali lagi.
Sam Han welapor lagi kepada It Han : „Menurut pengakuannya, kitab pusaka kita itu disimpannya didinding sebelah kiri pekarangan kuil kita…. karena waktu itu ia mencurinya belum sempat dibawanya dan telah kitab tersebut disembunyikannya disudut dinding pekarangan kuil…..!”
It Han mengangguk girang, ia perintahkan Liok Han dan Sie Han untuk mengambil barang itu, tidak lama Sie Han dan Liok Han kembali dengan membawa sejilid kitab.
It Han tampak girang, ia memperhatikan Kitab itu dan mengenalnya bahwa benda tersebut memang merupakan kitab pusaka milik per guruannya.
„Terima kasih…. terima kasih….. akhirnya kami bisa memperoleh kembali kitab pusaka kanmi…. !” kata It Han. „Nah Sam Han dan Liok Han, pergi kau bebaskan Ong Mie Tu Sie cu…..!”
Kedua orang saudara seperguruan It Han mengiyakan dan mereka masuk kedalam kuil. Tidak lama kemudian muncul kembali bersama seorang lelaki tua berpakaian thungsia panjang, yang memelihara jenggot dan kumis yang panjang. Pada wajahnya tidak terlihat keluar biasaannya. Tetapi ia melangkah dengan ringan, menunjukkan bahwa ginkangnya memang tinggi sekali. Ketika tiba diluar, per-tama2 ia berkata sambil tertawa lebar kepada It Han.
„It Han Tai su, sesungguhnya aku hanya bergurau, dan aku puas, selama aku ditahan oleh kalian, ternyata diperlakukan baik sekali. Terima kasih atas pelayanan semua itu….!”
It Han juga membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
„Dengan kesediaan Sie cu mengembalikan kitab pusaka kami maka tidak ada ganjalan pula diantara kita.. bukan?” tanya-nya.
Ong Mie Tu mengangguk.
„Benar … namun dalam hal ini aku hendak, menegaskan, dilain waktu, jika memang benda itu kalian anggap sangat berharga, tempat penyimpanannya harus dirahasiakan benar, dan jangan terlalu sembarangan!”
Terima kasih,” kata It Han ….. saran Sie cu akan kami, perhatikan,”
Setelah bicara dengan lt Han, Ong Mie To menoleh kepada Ang Bian, katanya:„Terima kasih atas maksud baikmu yang telah menolong aku dari kurungan para pendeta itu…. Saudara Ang Bian, apakah engkau sempat bertanding mengadu kepandaian dengan mereka?”
Ang Bian mengiyakan, kemudiain katanya: „Jika memang demikian halnya engkau ternyata sehat dan tidak kurang suatu apapun selama ditahan oleh para Tai su itnu …..!”
„Ya, mari kita pergi, aku memang telah bosan dikurung begitu terus mcnerus…..!”
Begitulah mereka telah pamitan pada It Han dan pendeta lainnya.
Sedangkan It Han dan pendeta2 lainnya mengantarkan mereka sejauh dua lie, dan baru kembali kekuil mereka.
Sepanjang perjalanan, banyak yang dicerita kan oleh Ong Mie Tu selama ia ditahan oleh para pendeta itu. la mengatakan, memang semula ia menganggap urusan itu adalah urusan penasaran, karena dirinya dirubuhkan dengan cara dikeroyok. Tetapi setelah bertemu muka dengan puterinya, pikirannya segera berobah, karena ia tidak mau mencari urusan lagi dan mengaku dirinya yang bersalah mengambil kitab pusaka milik para pendeta itu. Jika memang ia tidak akan diperlakukan begitu pula oleh para pendeta tersebut.
Setelah satu harian mereka berkumpul, Ong Mie Tu pamitan untuk melakukan perjalanan ber-sama2 dengan puterinya.
Begitulah, mereka telah berpisah, sedang Ong Tiong Yang melanjutkan perjalanan dengan Ang Bian.
—oo0oo—
(Bersambung ke bagian 59)

5 Jagoan Luar Biasa ( BAGIAN 57 )



SAAT itu It Han merangkapkan tangannya, ia menjura memberi hormat.
„Memang tepat apa yang dikatakan totiang karena memang begitulah keadaannya…. !” kata Jie Han. Dan pinceng juga kagum dengan pemikiran Totiang…….!”
„Dan coba Tai su pikirkan sekali lagi, dengan kepala yang dingin, apakah tidak ada baiknya jika Tai su mengijinkan agar Ang Bian Lo cianpwe itu dipertemukan dengan Ong Mie Tu ?”
„Hemmm, sayang sekali hal itu sama sekali tidak bisa dipenuhi oleh kami maka dari itu kamipun harus berusaba untuk menghormati kalian, disamping kalianpun menghormati keputusan kami …..!” sambil berkata begitu, It Han menjura memberi hormat, dan in berusaha memperlihatkan sikap yang menyesal.

Ong Tiong Yang menghela napas.
„Dengan demik!an, tentunya berarti Tai su memang tetap tidak mau mencari jalan keluar. secara baik2……..!” katanya.
„Bukan begitu, Totiang, tetapi justru kami memiliki kesulitan, yang tentunya tidak bisa begitu saja urusan ini diselesaikan sampai disini sebelum kitab pusaka kami dikembalikan oleh Ong Mie Tu…. !” setelah berkata begitu, It Hon membungkukkan tubuhnva lagi memberi hormat disertai kata2 penyesalannya: „Maaf… maaf….”
Ong Tiong Yang cepat2 menyingkir kesamping, tidak bersedia ia menerima hormat yang diberikan oleh It Han.
„Tai su, kata Ong Tiong Yang kali ini dengan sikap yang serius sekali.
Jika memang Tai su mau berpikir secara panjang, tentunya Tai su memaklumi bahwa dalam hal ini sebenarnya Ang Bian Locianpwe bermaksud baik, dan dia juga bermaksud untuk menyelesaikan urusan bagi Mie Tu Locianpwe dengan kalian jika saja memiliki kesempntan seperti itu…. !
Bagaimana jika Tai su tidak mau meluluskan permintaan kami untuk bertemu dengan Ong Mie Tu Lociaapwe itu, dan kami tidak berdaya membujuknya, tentu urusan ini akan ber-larut2 terus tidak ada habisnya.
Sedangkan jika urusan kecil seperti ini sampai menimbulkan urusan darah dan korban, jelas akan membuat kedua belah pihak merasa tidak enak.
It Han berdiam diri, akhirnya dia berkata dengan suara yang sabar: „Sekali lagi Pinceng mohon maaf karena memang sesungguhnya Pinceng tak bisa meluluskan permintaan kalian berdua, sebelum Ong Mie itu mengembalikan buku pusaka kami.
Jika ia telah mengembelikan, tanpa kalian minta atau mendesak, tentu kami akan membebaskannya percayalah, kami pun tidak bermaksud se-kali2 untuk mempersulh diri Ong Mie Tu…..!”
Setelah barkata begitu. It Han kembali menjura dalam2, sikapnya itu memperlihatkan bahwa dia memang sangat menyesal sekali.
„Lalu kalau memang Ong Mie Tu tidak bersedia mengembaiikan buku itu, apa yang akan dilakukan oieh kalian ?” tanyanya kemudian.
„Kami tetap akan mengurungnya dan menahannya, sampai akhirnya ia bersedia untuk mengambil keputusan yang baik untuk mengembalikan buku pusaka kami………!”
Ong Tiong Yang menoleh kepada Ang Bian sambil tanyanya: „Bagaimana menurut pendapat Ang Bian Cianpwe?”
Ang Bian sebetulnya mendongkol sekali melihat sikap kepala batu dari pendeta2 tersebut namun jelas mereka memang tidak berguna mempergunakan kekerasan kepada pendeta2 tersebut, karena merekapun tidak akan berhasil menerobos keluar dari kepungan barisan para pendeta itu. Oleh karena ini Ong Tiong Yang dan Ang Bian hanya saling pandang, karena Ang Bian tidak bisa mengambil keputusan dengan segera.
Sedangkan Ong Tiong Yang telah menoleh kepada nona Ong yang waktu itu tengah berdiri diluar gelanggang, sambil matanya memandang tajam, dan juga dengan tangan mencekal pedangnya kuat2.
Diwaktu seperti itu, terlihat bahwa gadis tersebut sangat kecewa sekali, karena Ang Bian dan Ong. Tiong Yang tidak berhasil menerobos barisan pendeta itu. Dan juga memang ia sangat kecewa karena mengetahui bahwa kepandaian yang dimiliknya masih berada jauh dibawah kepandaian Ong Tiong Yang dan Ang Bian, berarti ia juga tidak bisa berbuat banyak lagi kepada kesepuluh pendeta tersebut.
Waktu itulah Ong Tiong Yang segera teringat sesuatu, segera, ia berkata: „Nah Tai su, bagaimana jika Tai su mengambil sedikit kebijak sanaan dalam urusan ini ….?”
„Maksud Totiang?” tanya It Han. ,
„Bagaimana jika Tai su mengijinkan nona Ong itu menemui ayahnya, untuk membujuknya kepada sang ayah itu, agar bersedia mengembalikan barang yang telah diambilnya dari tangan kalian”.
It Han berdiam sejenak, lalu dengan suara perlahan ia berunding dengan saudara2 seperguruannya.
Waktu itu Ong Tiong Yang dan Ang Bian telah menantikan dengan sabar.
Sejam kemudian. pibak Cap Lo Sian Han mengambil keputusan. Menolak juga permintaan Ong Tiong Yang.
Melihat sikap kepala batu dari para pendeta itu Ong Tiong Yang jadi semakin penasaran.
„Tai su, kami telah berusaha mengalah dan tidak menimbulkan bentrokan diantara kita, lalu mengapa justru pihak Tai su sama sekali tidak memperlihatkan sikap mau mengerti ?”
Ditanya begitu It Han kembali tersenyum. Ia meminta maaf sambil menjura.
„Walaupun bagaimana kami tidak bisa melanggar keputusan kami, bahwa kami tidak akan mengijinkan siapapun menemui Ong Mie Tu, jika memang kitab itu belum dikembalikan…!”
„Tetapi dengan mempertemukan puterinya itu dengan Ong Mie Tu, bukankah hal yang baik, bisa menggerakkan hatinya untuk berlaku lunak dan merobah pendiriannya, lalu menyerahkan kembali kitab pusaka, kalian?”
Ditanya begitu, oleh pertanyaan yang adil It Han kembali berunding dengan saudara2 seperguruannya.
Disaat itu tampak Ong Tiong Yang mendesak lagi: „Janganlah Tai su mangambil keputusan yang berat sebelah, kita harus berusaha mengambil jalan yang baik, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak enak. Bagaimana jika urusan inipun sampai ditelinga sahabat2 Ong Mie Tu?, tentu akan berdatangan juga sahabat2-nya, yang berarti akan menimbulkan kericuhan dan pertempuran yang tidak berkesudahan dan akan membuat kalian juga memperoleh gangguan yang tidak kecil…. dalam hal ini, membuat Tai su bersepuluh juga jadi tidak tenang.”
Tetapi It Han tersenyum sabar katanya: ,,Untuk urusan itu memang telah kami pikirkan masak2, namun kami tidak akan merobah pendirian kami, selain jika memang kami ini telah menerima kembali kitab pusaka kami itu dari tangan Ong Mie Tu…!”
Melihat sikap keras kepala dari para pendeta tersebut, Ong Tiong Yang jadi naik darah juga. Karena dia telah berusaha untuk dapat membu juk para pepdeta itu, tetapi justru para pendeta itu keras dan tetap dengan pendiriannya. Maka akhirnya Ong Tiong Yang berkata dengan nada yang cukup keras.
„Jika memang Tai su semua tidak mau memberikan muka terang sedikitpun kepada kami, maafkan….maafkan kan kami juga tidak berdaya lagi untuk menerima segala keputusan Tai su.”
„Lalu apa yang dikehendaki Totiang ?”
„Berusaha untuk merebut Ong Mie Tu !”
„Apakah Totiang telah memikirkan keputusan itu ?”
,,Kami sudah tidak..memiliki jalan lain..!” ,,Mengapa begitu ?”
„Karena justru kami telah berusaha mengalah dan berlaku lunak, namun selama itu dari pihak Tai su tidak memperlibatkan sedikit pun’sikap mangalah, maka kami akan mempergunakan seluruh kesanggupan kami, untuk berusaha merebut Ong Mie Tu dengan kekerasan !”
„Baikiah….!” kata pendeta tersebut. .Tentunya dalam hal ini akan membuat Ong Totiang akan menyesal, karena seperti tadi telah dirasakan. oleh Ong Totiang berdua dengan Ang Bian Siecu, kalian tidak akan sanggup menggempur barisan kami….!”
„Jika memang demikiannya urusannya, baiklah. Kami hanya akan coba2 saja !” kata Ong Tiong Yang. Dan setelah itu Ong Tiong Yang menyelipkan gagang hudtimnya diikat pinggangnya, ia mencabut pedangnya yang sejak tadi digamblok dipinggangnya.
„Keluarkanlah senjata Tai su semua, karena maafkan. Pinto harus mempergunakan senjata tajam ini untuk main2.” Dan setelah berkata begitu. Ong Tiong Yang mengebutkan pedangnya ditengah udara, memper-dengarkan suara mengaung. “
„Pedang yang bagus….!”. memuji It Han dan ia menoleh kepada kesembilan saudara seperguruannya, sambil katanya: „Mari kita main-main sebentar dengan senjata kita!” dan semuanya telah mengeluarkan senjata mereka masing dari dalam saku mereka yang semuanya ternyata terdiri dari dua batang bokkie, yaitu alat untuk bersembahyang.
“Karena kami setiap hari hanya bersembahyang dan mengurusi kuil ini, kami tidak memiliki senjata lainnya, kami hanya memiliki bokkie ini untuk dipergunakan sebagai senjata!”
Ong Tiong Yang memandzng heran.
„Apakah . . apakah kalian tidak akan menyesal?! tanyanya. Karena Ong Tiong Yang melihat bahwa bokkie itu tidak pantas dipergunakan untuk menghadapi pedangnya.
Tetapi It Han telah tersenyum, katanya dengan penuh keyakinan. „Walaupun kami setiap hari sembahyang, tetapi bokkie ini memang yang selalu menemani kami dan belum pernah kami gagal!”
Ong Tiong Yang melirik kegada Ang Bian, dilihatnya Ang Bian,tengah mengeluarkan senjatanya, yang terdiri dari sebatang kipas yang terbuat dari besi, yang bisa diiipat dan ditutup.
Jika dibuka lipatannya, akan terlihat bersusun pisau2 tajam dari tulang kipas itu, dan jika di tutup, akan merupakan alat menotok yang baik sekali.
Aku telah siap, Ong Totiang……!” katanya kemudian, sambil me-ngibas2-kan kipasnya yang agak luar biasa.
Begitulah, antara kesepuluh pendeta Cap Lo Sian Han dengan Ong Tiong Yang dan Ang Bian saling berhadapan, mereka telah saling tatap dengan keadaan bersiap sedia, dimana mereka akan segera turun tangan.
Non’ Ong yang melihat ini telah mengawasi dengan hati yang agak berdebar, karena ia menyadari bahwa pertempuran yang keras dan berbahaya akan segera terjadi.
Ong Tiong Yang sekali lagi mengebut ke-udara dengan pedangnya. „Kansi terpaksa harus mempergunakan senjata tajam untuk main2…. kami terpaksa sekali….!”
Dan dengan habisnya perkataannya itu tahu-tahu Ong Tiong Yang menggerakkan pedangnya melancarkan tikaman.
Gerakan tiba2 seperti itu meluncur menyambar kearah dada Liok Han.
Tetapi pendeta yang seorang ini, yang berdiri disebelah kanan dari Ong Tiong Yang menangkis dengan mempergunakan Bokkienya. Gerakan yang dilakukannya cukup cepat, karena pedang Ong Tiong Yang berhasil ditangkisnya menimbulkan suara benturan yang keras, terayata bokkie ditangan pendeta itu terbuat dari besi murni dicampur bahan2 lainnya. sehingga menjadi senjata yang kuat dan tidak mudah terputuskan atau terpatahkan oleh tabasan senjata mustika.
Keadaan demikian telah memaksa Ong Tiong Yang harus menggeser kedudukan kakinya lalu menggerakkan pedangnya menikam lagi kepada Jie Han. Gerakan itu memang benar-benar merupakan tikaman yang cepat dan juga berbahaya karena pedang Ong Tiong Yang menyambar dengan digetarkan, akan menikam paha lawannya. Jie Han sampai mengeluarkan suara dengan seruan kaget, karena untuk menangkis dengan Bokkie ditangannya ia sudah bisa melakukannya, akibat mata pedang yang telah menyambar dekat sekali dengan pahanya. Namun sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Jie Han tidak mau begitu saja membiarkan pahanya menjadi umpan pedang.

Cepat dan gesit sekali ia melompat mundur dengan tergesa, hampir terguling.
Untung Sam Han menotok bokkienya kearah punggung Ong Tiong Yang, mcmbuat Ong Tiong Yang tidak bisa meneruskan tikamannya itu.
Perbuatannya itu memaksa Ong Tiong Yang memiringkan tubuhnya dan mengebutkan Pedangnya kebelakang, guna menangkis totokan bokkie lawannya.
Bagitulah, silih bergaati merekasaling menyerang.
—oo0oo—
(Bersambung ke bagian 58)

Popular On Relatemein