WAKTU itu tampak Lu Liang Cwan telah berkata kepada Ang Bian. .Jika memang kelak kita memiliki kesempatan, tentu pertemuan itu akan mengasyikan sekali, karena kita bisa ber-cakap2 sampai puas…!”
Ang Bian mengangguk.
„Ya, sayangnya sekarang ini aku dengan Ong Totiang tengah mengurus sebuah urusan ….. dengan demikian aku harus pergi melaksanakan persoalan tersebut bersama Ong Totiang, kami tidak bisa menemani kalian terlalu lama iagi….!
Ang Bian mengangguk.
„Ya, sayangnya sekarang ini aku dengan Ong Totiang tengah mengurus sebuah urusan ….. dengan demikian aku harus pergi melaksanakan persoalan tersebut bersama Ong Totiang, kami tidak bisa menemani kalian terlalu lama iagi….!
Setelah berkata bergitu, Ang Bian merangkapkan sepasang tengannya. ia memberi hormat sambil katanya: „Sampai disini saja kita berpisah”
Dangan perasaan berat, mereka telah berpisah.
Begitu juga halnya dengan Ang Cit Kong, ia tidak ikut dalam rombongan Ong Tiong Yang atau rombongannya Oey Yok Su, ia meneruskan perjalanannya sendiri…. Pengemis muda yang jenaka dan selalu memiliki sifat yang polos itu lebih senang melakukan perjalanan se orang diri.
—oo0oo—
Ang Bian telah mengajak Ong Tiong Yang kesebuah kuil, yang cukup besar dan terurus bersih.
„Kuil inilah tempat lawan2 kita berada….!” menjelaskan Ang Bian waktu mereka telah datang dekat dengan kuil.
Ong Tiong Yang mengawasi sekelilingnya, ia melihat bahwa kuil itu memang terurus dengan baik, dan juga dari dalam kuil tampak memancarkan sinarnya api penerangan, karena waktu itu menjelang malam hari.
Ong Tiong Yang menoleh kepada Ang Bian sambil tanyanya : „Siapakah lawan2 kita itu? “
„Mereka adalah sepuluh orang hweshio….!” menjelaskan Ang Bian.
Ong Tiong Yang hanya mendengarkan saja, dan mereka telah tiba didepan pintu kuil yang tertutup rapat. Pintu kuil itu berwarna merah, dan cukup angker dengan dikiri kanannya tam pak dua ekor naga yang melingkari tiang tersebut. Rupanya kuil ini men!ang dibangun dengan baik aekali clan juga terawat cukup rapih.
Mereka merupakan pendeta2 yang memiliki kepandaian tinggi sekali ……! menjelaskan.
„Tetapi Ang Bian Locianpwe ….. apakah mereka kesepuluh pendeta itu merupakan orang2 yang mengambil jalan hitam penuh kejahatan?
Ang Bian mengangguk.
„Mereka sebenarnya tidak jahat, tetapi justru mereka telah salah paham, dan menahan seorang sababatku …… karena kepandaian kesepuluh pendeta itu memang tinggi, maka sahabatku itu tidak berdaya menghadapi mereka dan telah ditawan. Hampir satu kali aku mendatangi mereka, bertempur dengan kesepuluh pendeta tersebut, namun aku tidak berdaya mendobrak pintu pertahaaan mereka yang telah mengeroyok aku bersepuluh! Sekarang aku sengaja mengajak Ong Totiang, untuk bantu melunakan hati mereka, siapa tahu mereka mau membebaskan sahabatku itu atas kata2 Ong Totiang …….. tetapi jika memang mereka tetap tidak mau memberi muka kepada kita, apa boleh buat terpaksa kita harus mempergunakan kekerasan juga……!
Setelah berkata begitu, Ang Bian mengulurkan tangannya, ia mengetuk pintu Kuil tersebut, dan berkata dengan suara yang nyaring: „Cap Lo Sian Han (Sepuluh Arhad Sakti) …… aku Ang Bian datang pergi berkunjung ……..!” waktu berkata begitu suara Ang Bian nyaring sekali, karena ia berkata sambil menyalurkan tenaga sinkang pada suaranya, sehingga suaranya bergema nyaring dan dapat terdengar sejauh puluhan lie.
Saat itu, dari dalam kuil terdengar suara orang berseru perlahan, tidak lama kemudian pintu kuil telah terbuka, dan seorang hweshio muda yang telah membukakan pintu itu keluar dengan sikap ber-tanya2, iapun telah menegur : „Apa maksud jiewie berdua berkunjung kekuil kami……!”
„Aku hendak bertemu dengan Gap Lo Sian Han tolong Siauw Suhu memberitahukan kepada mereka mengenai kedatangan kami….!”
Hwashio muda itu mengawasi Ang Bian sejenak, lalu Ong Tiong Yang juga dipandangi nya dengan sikap tidak senang, lalu mengangguk. „Baiklah, kalian tunggu sebentar……!” dan setelah berkata begitu, pendeta muda tersebut menutup pintu kuil itu lagi.
Ang Bian sambil menantikan munculnya ke sepuluh pendeta yang hendak dijumpainya itu telah menlaskan kepada Ong Tiong Yang: „Kesepuluh pendeta yang bergelar Cap Lo Sian Han itu masing-masing disebut It Han, Jie Han, Sam Han, Sie Han, Go Han Liok Hao Peh Han, Kiu Han dan Cap Han. Mereka semuanya memiliki kepandaian yang tinggi dan tidak pernah mau menyerah kepada siapapun juga, selalu bertempur dengan maju bersama, karena memang dengan cara seperti itu, mereka bisa mempergunakan kepandaian istimewa, mengurung musuh agar tidak mungkin bisa meloloskan diri, karena mereka dapat bekerja sama dan menolongi kawan mereka yang terancam.
Ong Tiong Yang menghela napas.
„Sesungguhnya didalam rimba persilatan memang terdapat banyak sekali orang2 pandai ……. dan juga merupakan hal yang terlalu seringkali terjadi, justru orang2 pandai seperti itu jadi lupa diri dan melakukan kejahatan……maka dari itu, dengan demikian dunia persilatan tidak pernah menjadi tenang, karena selalu timbul pergolakan……!” dan setelah berkata begitu, „Ong Tiong Yang menghela napas lagi beberapa kali lalu menoleh ke arah Ang Bian sambil tanyanya: „Sesunguhnya, siapakah sahabat locianpwe yang ditahan mereka?”
„Ia bernama Mie Tu dan she Ong. Kepandaiannya juga tidak dibawah kepandaianku… tetapi sayangnya ia tidak berhasil melolokkan diri dari kepungan kesepuluh pendeta tersebut, dengan demikian akhirnya ia berhasil ditawan!”
„Nanti kita juga akan menghadapi mereka itu dangan dikeroyok berpuluhan seperti itu?” tanya Ong Tiong Yang lagi sambil mengerutkan alisnya.
Ang Bian mengangguk.
„Tapi… ! Apakah engkau merasa takut dan jeri berurusan dengan mereka?” tanya Ang Bian sambil mengawasi Ong Tiong Yang.
Sedangkan Ong Tiong Yang menggeleng cepat, ia menyahuti: jika memang aku merasa genlar, tentunya Pinto tidak akan bersedia ikut dengan locianpwe. ..!” Dan setelah berkata begitu, Ong Tiong Yang menghela napas dalam2, baru melanjutkan lagi perkataannya: „Jika memang untuk keadilan dan kebenaran, tentu tidak ada yang dibuat jeri.”
Ang Bian girang mendengar perkataan Ong Tiong Yang, ia mengangguk : „Cepat….!” katanya. „Jika memang Totiang memiliki pandangan seperti itu, tentu menggembirakan sekali. ..!”
Waktu itu pintu kuil telah terbuka lagi, dari dalam mucul sepuluh orang hweshio yang bertubuh tinggi besar. Mereka semuanya berusia diantara lima puluh tahun, sikap mereka juga berwibawa sekali.
„Ada urusan apakah Siecu datang pula ke mari?” tanya salah seorang diantara kesepuluh hweshio itu.
„Aku hendak meminta kepada para Taisu agar bersedia membebaskaa sahabatku yang ditahan oleh kalian !” menyahuti Ang Bian.
Hweshio itu tertawa sambil katanya: „Hemmm, jika memang demikian halnya, rupanya Siecu masih belum bosan memperoleh kenyataan, bahwa permintaan Siecu ditolak oleh kami…!”
Ang Bian tersenyum.
„Bagaimanapun juga sahabat kami itu harus di bebaskan, karena itu aku telah melakukan perjalanan jauh untuk berkunjung kemari lagi…. !”
Tetapi pendeta itu memperlihatkan muka yang tidak senang, ia berkata : „Pernah dulu kami membebaskan Siecu, agar Siecu tidak me ngalami bahaya ditangan kami, tetapi kenyataannya Siecu telah kembali datang kemari bukankah hal ini akan mempersulit diri Siecu sendiri….?”
Ong Tiong Yang telah menyelak sambil menjura memberi hormat: „Jika memang para Tai su tidak keberatan, Pinto ingin bicara sedikit….!
„Silahkan,” kata hweshio itu.
„Sesungguhnya, ada keperluan apakah Tai su menahan sahabat dari Ang Bian Locianpwe?”
Muka hwesbio itu berubah dan katanya : „Kami memiliki urusan tersendiri yang tidak bisa dicampuri oleh orang luar.”
„Jika memang demikian halnya, tolong Tai su mengatakan saja, apakah Tai su bersedia membebaskan sahabat Ang Bian Locianpwe atau memang menolaknya?”
Pendeta tersebut mengawasi Ong Tiong Yang sejenak lamanya. kemudian baru berkata : „I’e tapi urusan kami dengan Ong Mie Tu menu pa kan urusan yang harus karni selesaikan sendiri tidak akan kami i jinkan orang luar ikut men campuri “
„Tetapi Taisu, alangkah baik dan bijaksana-nya jika saja Tai su mau menjelaskan kepada Ang Bian Locianpwe, urusan apakah sebenarnya yang terdapat antara Tai su dengan Ong Mie Tu Locianpwe?”
„Hemm, sesungguhnya ada sejilid kitab pusaka kami yang telah dicurinya, maka sebelum Ong ite Tu mengembalikan kitab pelajaran silat yang menjadi pusaka kami itu, kami tidak akan membebaskannya…!” menyahuti pendeta tersebut setelah bimbang sejenak.
Ang Bian tertawa dingin. katanya dengan nada mengandung perasaan tidak senang: „Jika memang Tai su berkata begitu, itulah banya fitnah belaka…. dan sama sekali tidak benar…. karena aku mengenal benar Ong Mie Tu seorang yang baik, tidak mungkin dia mencuri kitab pusaka milik orang lain…..!”
„Tetapi justru sababatmu itu telah mengakui bahwa ia yang mengambil kitab pusaka kami, dan ia mengatakan tidak sudi mengembalikan kepada kami…!”
Belum lagi Ong Tiong Yang selesai dengan perkataannya itu, justeru peudeta yang seorang ttu telah menyelak : „Dan kami tidak bersedia jika orang luar ikut mencampuri urusan kami….. walaupun bagaimana kami tidak bersedia untuk membereskan urusan ini dengan campur tangan nya orang luar….!”
„Mengapa begitu?”tanya Ong Tiong Yang, ingin mengetahuinya.
„Siapapun tidak akan kami ijinkan untuk mencampuri urusan kami…!” menyahuti pendeta itu. Kecuali jika memang Ong Mie Tu bersedia mengembalikan kitab kami, dan membayar pulang kitab pusaka itu ketangan kami, barulah ia kami bebaskan tanpa orang luar yang perlu memintanya…..!”
Ong Tiong Yang menghela papas.
„Jika memang demikian halnya, tentu Tai su ingin mengartikan, babwa yang dikehendaki oleh Taisu_adalah agar Ong Mie Tu mengembalikan kitab pusaka itu ketangan Tai su ?”
,,Sungguh tepat…..!” kata pendeta tersebut.
,,Dan jika memang memang Taisu bersedia ontuk mempertemukan kami dengan Ong Mie Tu, mungkin juga Ang Bian Locianpwe bisa membujuknya agar ia mengembalikan kitab pusaka itu dengan demikian, bukankah berarti bahwa Tai su akan memperoleh kembali kitab Lusaka itu……?”
„Tetapi kami telah bertekad, jika memang Ong Mie Tu belum mengembalikan kitab pusaka itu, kami tidak akan membebaskan-nya..!”
„Kalau memang Tai su berkeputusan seperti itu, tentunya Tai su bukan menghendaki jalan damai!” kata Ong Tiong Yang.
„Tetapi yang kami pentingkan kitab pusaka itu harus kembali ketangan kami, sebab jika kami mempertemukan kalian dengan Ong Mie Tu, kemungkinan ia akan menimbulkan kesulitan baru untuk kami…….!”
„Bagaimana jika Taisu mengajak Ang Bian Locianpwe untuk bertemu dengan Ong Mie Tu bukankah dengan demikian Ang Bian Locianpwe bisa membujuknya. Siapa tahu Ong Mie Tu mau memberi muka terang kepada Ang Bian Locianpwe, sehingga ia bersedia mengembalikan kitab pusaka itu….?”
„Hemmm….!” pendeta itu mendengus, tampaknya dia bimbang.
Kemudian menoleh kepada sembilan orang kawannya, yang serentak telah menggelengkan kepalanya.
Pendeta tersebut menghela napas.
„Seperti telah kalian lihat, adik2 seperguruanku tidak menyetujui jika aku mempertemukan Ang Bian Siecu dengan Ong Mie Tu….!”
Ang Bian sudah tidak sabar, ia bilang: ,,Jika memang kalian tidak bisa diajak bicara dengan baik2, tentu aku tidak akan segan2 mempergunakan kekerasan untuk membebaskan Ong Mie Tu !”
Mendengar parkataan Ang Bian yang me-ngandung nada keras, pendeta itu tertawa tawar: „Jika memang Siecu bermaksud mengambil jalan kekerasan seperti itu, kami juga tidak bisa melarangnya, tetapi yang pasti kami tentu tidak akin mengijinkan siapapun untuk membebaskan 0ng Mie Tu sebelum ia ingin mengembalikan kitab pusaka kami……. itu memang telah menjadi keputusan kami bersama…….!”
Tampak Ang Bian yang memang sudah tak bisa menahan kesabarannya dan juga melihat bahwa tidak adit jalan lain untuk menyelesai kan urusan ini, telah ber-siap2 untuk melancarkan serangan.
Sepuluh orang Hweshio itu yang melihat keadaan seperti ini, jadi ber-siap2 juga. Malah mereka telah memencarkan diri urtuk mengurung Ong Tiong Yang dan Ang Bian.
Melihat gelagat, kurang baik seperti itu Ong Tiong Yang jadi menghela , napas, katanya: „Jika memang begitu sikap Tai su, tentu sulit sekali dielakkan pertempuran diantara kita.”
„Walaupun harus menghadapi kalian berdua, hal itu bukan halangan buat kami, yang terutama adalah kami bisa menjaga sebaik mungkin agar Ong Mie Tu, tidak menimbulkan kesulitan baru buat kami jika memang dia belum mengembalikan kitab pusaka kami…!”
„Baiklah,” kata, Ang Bian…… Kalian ber-siap2 lah…!” dan Ang Bian selesai berkata begitu segera menggerakkan kedua tangannya.
Dari telapak tangannya berkesiuran angin yang kuat, menunjukkan bahwa Ang Bian telah mempergunakan sinkang tingkat tinggi.
Diantara kesepuluh-pendeta itu, It Han dan Jie Han merupakan pendeta yang paling tua usianya diantara hweshio2 yang lainnya.
Mereka berdua juga merupakan pimpinan barisan sute2 mereka
Maka itu melibat bahwa Ang Biaa telah membuka serangan dengan tenaga sinkang seperti itu, mereka berseru nyaring menyebutkan pintu mana yang harus diduduki oleh saudara2 seperguruan mereka. Pintu yang dlmaksudkam itu adalah pintu kedudukan dari aturan Patkwa.
Dengan demikian, mereka telah ber-gerak2 menuruti cara Pat-kwa dan dalam waktu sekejab mata saja, mareka telah ber-kelebat2 untuk mengurung Ong Tiong Yang dan Ang Bian.
Dengan cara seperti ini, tampak Ang Bian tidak pernah berhasil untuk menindih tenaga serangan yang dilancarkan kesepuluh pendeta itu, malah tampaknya Ang Bian telah terdesak sedikit demi sedikit.
Hanya Ong Tiong Yang masih berdiam diri tidak diserang oleh kesepuluh pendeta tersebut, karena mereka tampaknya tidak mau melancarkan serangan kepada orang yang tidak manyerang mereka.
….dalam waktu sekejab mata saja, mereka telah berkelebat
-kelebat untuk mengurung Ang Bian dan Ong Tiong Yang.
Sedangkan Ang Bian yang menerjang kuat, tetah memperoleh perlawanan yang gigih. Semakin kuat tenaga sinkang yang dipergunakan, semakin kuat daya tahan kepungan sepuluh pendeta tersebut.
Hal ini membuat Ang Bian semakin lama. semakin penasaran dan akhirnya telah mengeluarkan suara seruan yang nyaring: „Jika memang kalian tidak mau membebaskan Ong Mie Tu, aku akan mengadu jiwa dengan kalian…! “
It Han telah menyahuti : „Kami tidak pernah hendak mencelekai orang yang tidak memiliki kcsalahan apa2 pada kami, tetapi jika me mang engkau berusaha untuk menyerang dan menentang kami, terpaksa kami juga. tidak bisa berbuat apa2 selain melayani kalian….!” dan setelah berkata begitu, It Han telah membuka serangan dan, setiap serargannya itu memang me miliki• tenaga sinkang ti4ak berada disebelah bawah tenaga sinkang Ang Bian.
Dalam sakejap mata saja, mereka telah tertibat dalam pertempuran yang seru, dan juga mereka tampaknya mulai tidak segan2 untuk mengeluarkan kepandaian mereka yang tertinggi dan merupakan ilmu simpanan.
Ong Tiong Yang melihat bahwa pertempuran seperti itu, akan mecugikan pihak Ang Bian, maka ia telah bersrru: „Hentikan…. Pinto, hendak bicara dulu !”
Ang, Bian yang memperoleh kenyataan dirinya akan tetap terkepung tanpa berdaya untuk mendobrak kepungan itu berusaha untuk melompat mundur.
Dan It Han bersama dengan saudara seperguruannya juga telah membuka kepungan mereka.
—oo0oo—
Hal ini membuat Ang Bian semakin lama. semakin penasaran dan akhirnya telah mengeluarkan suara seruan yang nyaring: „Jika memang kalian tidak mau membebaskan Ong Mie Tu, aku akan mengadu jiwa dengan kalian…! “
It Han telah menyahuti : „Kami tidak pernah hendak mencelekai orang yang tidak memiliki kcsalahan apa2 pada kami, tetapi jika me mang engkau berusaha untuk menyerang dan menentang kami, terpaksa kami juga. tidak bisa berbuat apa2 selain melayani kalian….!” dan setelah berkata begitu, It Han telah membuka serangan dan, setiap serargannya itu memang me miliki• tenaga sinkang ti4ak berada disebelah bawah tenaga sinkang Ang Bian.
Dalam sakejap mata saja, mereka telah tertibat dalam pertempuran yang seru, dan juga mereka tampaknya mulai tidak segan2 untuk mengeluarkan kepandaian mereka yang tertinggi dan merupakan ilmu simpanan.
Ong Tiong Yang melihat bahwa pertempuran seperti itu, akan mecugikan pihak Ang Bian, maka ia telah bersrru: „Hentikan…. Pinto, hendak bicara dulu !”
Ang, Bian yang memperoleh kenyataan dirinya akan tetap terkepung tanpa berdaya untuk mendobrak kepungan itu berusaha untuk melompat mundur.
Dan It Han bersama dengan saudara seperguruannya juga telah membuka kepungan mereka.
—oo0oo—
(Bersambung ke bagian 55 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar